TRIBUNNEWSWIKI.COM - Pandemi Covid-19 telah menyuburkan tren yang sudah muncul beberapa tahun terakhir, belanja online
Di Indonesia, kini semakin banyak masyarakat yang menggunakan internet atau cara online untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Tren tersebut marak terlebih mengingat protokol kesehatan yang harus diterapkan jika ingin membeli barang langsung di pasar, toko atau supermarket.
Belanja melalui sistem daring pun disebut bisa menghemat waktu dan biaya bagi konsumen tanpa harus keluar rumah.
Terkait dengan maraknya tren belanja online, masyarakat harus bersiap-siap dengan kenaikan tarif.
Belanja online kini akan semakin mahal dengan aturan baru dari pemerintah.
Pemerintah Indonesia kini resmi mewajibkan e-commerce luar negeri untuk memungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang/jasa yang diperjualbelikan.
Artinya, para konsumen yang berbelanja online harus membayar 10% lebih mahal dari barang yang dibeli.
Baca: Meski Sering Terkendala Jaringan, Dirjen Dikti: Kuliah Online Disambut Baik oleh Dosen dan Mahasiswa
Baca: Pengunjung Harus Patuhi Protokol Kesehatan Ini saat Kunjungi Pusat Perbelanjaan atau Mal
Baca: Ibu-Ibu Belanja Baju Lebaran Pakai Uang Bansos, Wali Kota Bogor Bima Arya Sampaikan Rasa Kecewa
Dalam hal tersebut, Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjuk pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagai pemungut PPN PMSE terhadap pelaku usaha yang telah memenuhi batasan kriteria.
Adapun, batasan kriteria e-commerce yang bakal mematok PPN yakni memiliki nilai transaksi dengan pembeli melebihi Rp 600 juta per tahun, atau Rp 50 juta per bulan.
Kemudian, pengakses situs e-commerce lebih dari 12 ribu pengakses dalam satu tahun, atau 1.000 pengakses dalam satu bulan.
Pemungutan PPN ini efektif per tanggal 1 Agustus 2020.
Sebagai contoh, Mawar membeli perangkat lunak seharga Rp 1 juta di platform e-commerce tertentu, maka mulai awal bulan Agustus harganya menjadi Rp 1,1 juta. Sehingga, Mawar memiliki beban tambahan bayar Rp 100.000.
Ketentuan tersebut sebagaimana dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2020 tentang Batasan Kriterian Tertentu Pemungut serta Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Nantinya, pungutan PPN 10% akan tertera dalam commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenisnya ketika konsumen hendak membayar belanja online.
Pajak untuk Sepeda
Kementerian Perhubungan ( Kemenhub) juga membantah, sedang membuat aturan terkait pemungutan pajak pengguna sepeda.
"Tidak benar Kemenhub sedang menyiapkan regulasi terkait pajak sepeda," kata Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya, Selasa (30/6).
Adita membenarkan pihaknya sedang menyusun regulasi terkait penggunaan sepeda sebagai moda transportasi.
Baca: Tanggapi Isu Pungut Pajak Sepeda, Kemenhub: Tidak Benar Tapi Sepeda Harus Diatur
Baca: Warga yang Berkerumun Demi Belanja Baju Lebaran di Tengah Pandemi Covid-19, MUI: Hukumnya Haram
Baca: Sepeda Bakal Dipajak, Dirjen di Kemenhub Buka Wacana, Kemenhub Bantah Godok Regulasi Pajak Sepeda
Akan tetapi, regulasi yang sedang digodok ini lebih berfokus kepada aspek keamanan.