TRIBUNNEWSWIKI.COM - Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai, jika DPR dan pemerintah benar-benar mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan), Indonesia bakal menjadi negara yang sangat korup.
Hal tersebut karena adanya sejumlah pasal dalam RUU tersebut yang memudahkan pembebasan bersyarat para koruptor.
Terlebih di saat bersamaan DPR juga mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK hasil revisi.
Dikutip dari Kompas.com, Jumat (20/9/2019), Feri Amsari pun memprediksi praktik korupsi di Indonesia akan menjadi sangat sulit untuk diberantas.
"Ini paket yang ditunggu-tunggu para koruptor, karena semuanya tersusun rapi dari yang mau koruptor," kata Feri seperti dilansir Kompas.com, Jumat (20/9/2019).
"Dan bukan tidak mungkin proses penyelenggaraan pemerintahan akan sangat korup karena paket-paket Undang-undang ini," sambungnya.
Baca: Ditetapkan Jadi DPO oleh Polda Jatim, Veronica Koman Sudah Buka Komunikasi dengan KBRI Australia
Salah satu poin RUU Pemasyarakatan mengatur tentang pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, salah satunya kasus korupsi.
Dalam Pasal 12 ayat (2) UU Pemasyarakatan sebelum revisi, ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Sementara PP Nomor 99 Tahun 2012 memperketat pemberian hak remisi dan pembebasan bersyarat, yakni jika seorang narapidana kasus korupsi menjadi justice collaborator serta mendapat rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam draf UU Pemasyarakatan yang sudah direvisi, tidak lagi terdapat ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Baca: RKUHP : Jokowi Sebut Ada 14 Pasal Bermasalah, Menhumkan Diminta Jaring Masukan Berbagai Kalangan
Sementara itu, dalam RUU KPK hasil revisi yang disahkan Selasa (17/9/2019), ada ketentuan pembentukan Dewan Pengawas yang salah satu tugasnya memberi izin penyidikan kepada KPK.
Selain itu, RUU hasil revisi juga memberi kewenangan SP3 jika penyidikan dan penyelidikan KPK tak selesai dalam dua tahun.
Menurut Feri, kedua Undang-Undang ini memperingan hukuman koruptor, sekaligus melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
"Dulu awalnya cerita remisi itu ketat, sekarang kemudian menjadi sangat-sangat longggar. Dulu ceritanya bahwa proses pemidanaan koruptor menjadi sangat kuat, ini KPKnya diperlemah," ujarnya.
Lebih lanjut, Feri menyebut, dikebutnya pengesahan kedua Undang-Undang itu menunjukkan adanya ketakutan terhadap upaya pemberantasan korupsi dari pemerintah maupun DPR.
"Ada ketakutan besar dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama pada KPK, hukuman yang dikenakan pada koruptor, dan proses pemasyarakatan yang mereka harus jalani," katanya.
Baca: RKUHP : Gelandangan Didenda Rp 1 Juta, Dewan Pers Ogah Diatur, Delik Komunisme Dipertanyakan
Pemerintah dinilai otoriter
Feri Amsari menilai juga dikebutnya rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan RUU Pemasyarakatan menunjukan keotoriteran pemerintah dan DPR.
Sebab, meskipun RUU tersebut menuai banyak penolakan, pembahasannya tetap dilakukan.
Bahkan, ditargetkan selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir awal Oktober ini.
"Menurut saya bisa dikatakan akhirnya proses legislasi kita akhirnya menjadi otoritarian. Yang memaksakan kehendak, tidak peduli pada masyarakat, main sahkan saja," kata Feri.
RKUHP dan RUU Pemasyarakatan bukan regulasi pertama yang pembahasannya dilakukan secara kilat.
Sebelumnya, DPR bersama pemerintah telah mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hanya membutuhkan waktu sebelas hari saja.
Kini, kata Feri, publik harus kembali dipaksa tunduk pada kekuatan eksekutif dan legislatif yang bakal mengesahkan dua Undang-undang yang pasalnya bermasalah.
Baca: Demo Massa PMII Dukung Revisi UU KPK Berakhir Ricuh
Jokowi irit bicara
Presiden Joko Widodo tak berkomentar banyak saat ditanya soal Revisi Undang-Undang Pemasyarakatan yang bisa mempermudah pembebasan bersyarat koruptor.
Jokowi beralasan ia masih fokus pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang juga tengah dibahas oleh DPR dan pemerintah.
"Saat ini saya masih fokus pada RUU KUHP," kata Jokowi saat jumpa pers di Istana Bogor, Jumat (20/9/2019).
Dalam jumpa pers itu, Jokowi memang menyampaikan soal RKUHP yang mendapat penolakan dari masyarakat.
Jokowi meminta DPR menunda pengesahan RKUHP karena masih banyak pasal yang menuai kontroversi.
Namun, saat wartawan menyingung masih ada RUU lain yang juga mendapat penolakan, salah satunya RUU Pemasyarakatan yang mempermudah bebas bersyarat koruptor, Jokowi belum bisa menyampaikan sikapnya.
Baca: Pakar Hukum Sebut Revisi UU KPK Bisa Dicabut Jika Jokowi dan DPR Mau Dengarkan Aspirasi Rakyat
"(UU) yang lain menyusul karena ini yang dikejar oleh DPR, kurang lebih ada empat," kata Jokowi.
DPR dan Pemerintah sepakat untuk segera mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ( UU Pemasyarakatan).
Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja antara Komisi III dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Salah satu poin yang disepakati yakni terkait pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, salah satunya kasus korupsi.
Baca: Mahasiswa Demo untuk Pencabutan RKUHP dan UU KPK, Komnas HAM Minta Pengesahan RKUHP Ditunda
Akan disahkan dalam waktu dekat
Wakil Ketua Komisi III Erma Ranik mengatakan, rancangan UU Pemasyarakatan yang akan disahkan dalam waktu dekat itu, meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dengan demikian aturan mengenai pemberian pembebasan bersyarat kembali ke PP Nomor 32 Tahun 1999.
"Kami berlakukan (kembali) PP 32 tahun 1999," ujar Erma saat ditemui seusai Rapat Kerja.
PP Nomor 99 Tahun 2012 mengatur syarat rekomendasi dari aparat penegak hukum yang selama ini memberatkan pemberian pembebasan bersyarat bagi napi korupsi.
Baca: Demo Tolak RKUHP dan UU KPK, Mahasiswa Padati Jalan Exit Tol DPR/MPR
Pasal 43A mengatur syarat bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya atau dikenal istilah justice collaborator.
Kemudian Pasal 43B Ayat (3) mensyaratkan adanya rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pertimbangan Dirjen Pemasyarakatan dalam memberikan pembebasan bersyarat.
Namun, aturan soal justice collaborator dan rekomendasi KPK tidak tercantum dalam PP Nomor 32 Tahun 1999.
(TribunnewsWIKI/Widi Hermawan)