TRIBUNNEWSWIKI.COM - Pengemabangan vaksin Covid-19 dalam negeri mendapatkan perhatian lebih dari publik.
Terdapat dua jenis vaksin yang dikembangkan di dalam negeri, yakni vaksin Nusantara dan vaksin Merah Putih.
Kedua vaksin tersebut mendapat respons yang berbeda dari publik.
Vaksin Nusantara masih menjadi polemik, sedangkan vaksin Merah Putih dikabarkan siap diproduksi masal.
Lantas apa perbedaan kedua vaksin tersebut?

Baca: Aburizal Bakrie hingga Pasangan Selebritis Disuntik Vaksin Nusantara, BPOM Berikan Tanggapan
Baca: Soal Vaksin Nusantara, Epidemiolog: Label Nusantara hanya Namanya Saja dan Sebaiknya Dihentikan
Berikut ulasannya yang dilansir oleh Tribunnews.
Vaksin Sel Dendritik atau yang dikenal vaksin Nusantara yang dikembangkan mantan Menkes Terawan Agus Putranto memunculkan pro kontra.
Beberapa anggota DPR RI ingin menjadi relawan uji klinik meski BPOM RI menemukan kejanggalan dalam penelitian dan pengembangan vaksin Nusantara.
Kepala BPOM Penny K. Lukito enggan memberikan komentar saat peneliti vaksin Sel Dendritik atau vaksin Nusantara tetap melanjutkan tahapannya meski tak sesuai rekomendasi pihaknya.
"Terkait vaksin nusantara ya kami tidak bisa menjawab, ya jawaban kami bagaimana hasil penilaian Badan POM terkait fase pertama uji klinik fase 1 vaksin dendritik atau vaksin Nusantara adalah belum bisa dilanjutkan ke uji klinik fase dua, sudah clear ya sampai di situ," tegasnya dalam konferensi pers virtual bersama BPOM RI secara virtual, Jumat (16/4/2021).
Penny menuturkan tugas Badan POM telah selesai saat mendampingi uji klinik I dan memberikan penilaian bahwa penelitian tersebut tidak masuk kategori riset ilmiah sesuai dengan standar internasional.
"Saya tidak mau komentari, karena vaksin dendritik atau nama vaksin Nusantara sudah beralih sekarang, saya tidak mau komentari lagi, sudah beralih," ucap Penny.

Baca: Pemalsuan Situs Bansos Covid-19 Amerika Serikat, 2 Hacker Indonesia Curi Rp 875 Milyar
Baca: MUI Keluarkan Fatwa Tes Swab Covid-19 Tidak Membatalkan Puasa
Penny mengingatkan pentingnya sebuah penelitian ilmiah harus melewati uji praklinik atau uji hewan sebelum diberikan kepada manusia.
Hal itu untuk menghindari kesalahan fatal dan memberikan perlindungan kepada relawan.
"Kalau tidak dilakukan dan langsung loncat ke clinical trial, nanti kesalahan ada di sana. Yang namanya penelitian begitu. Kita belajar dari tahapan-tahapan yang ada. Harusnya bisa dapat dikoreksi, diperbaiki," tutur Penny.
"Vaksin Nusantara kami tidak bisa jawab. Penilaian Badan POM pada fase pertama uji klinik vaksin dendritik belum bisa dilanjutkan ke fase II dan ada temuan correction action. Koreksi-koreksi harus ada perbaikan kalau mau maju ke fase kedua," katanya.
Sebelumnya, dokumen hasil pemeriksaan tim BPOM menunjukkan berbagai kejanggalan penelitian vaksin.
Misalnya, tidak ada validasi dan standardisasi terhadap metode pengujian. Hasil penelitian pun berbeda-beda, dengan alat ukur yang tak sama.
Selain itu, produk vaksin tidak dibuat dalam kondisi steril. Catatan lain adalah antigen yang digunakan dalam penelitian tidak terjamin steril dan hanya boleh digunakan untuk riset laboratorium, bukan untuk manusia.

Baca: BPOM: Vaksin Nusantara Sebaiknya Diuji Coba Dulu pada Hewan
Baca: Keamanan Belum Teruji, Mantan Menkes Siti Fadilah Supari Jadi Relawan Uji Klinis Vaksin Nusantara
Tertulis dalam dokumen tersebut, BPOM menyatakan hasil penelitian tidak dapat diterima validitasnya.
Dalam bagian lain dokumen disebutkan, uji klinis terhadap subjek warga negara Indonesia dilakukan oleh peneliti asing yang tidak dapat menunjukkan izin penelitian.
Update Terbaru Daftar 172 Produk Obat Sirup yang Masuk Kategori Aman oleh BPOM |
![]() |
---|
CEO Pfizer Albert Bourla Terkena Covid-19 untuk Kedua Kalinya |
![]() |
---|
Taruna Ikrar: Vaksin Dendritic Indonesia Telah Merampungkan Uji Klinis |
![]() |
---|
Vaksin Covid-19 Pfizer Diklaim 73 Persen Efektif Lindungi Balita |
![]() |
---|
Sudah Kantongi Izin, Vaksin Covid-19 Novavax Siap Digunakan di AS |
![]() |
---|