Butir yang ada di pasal ini kerap kali digunakan untuk menuntut pidana pada netizen yang melayangkan kritik melalui media sosial.
Bunyi pasal tersebut adalah: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Selain pasal 27 ayat 3, Kompas.com melansir, berikut daftar delapan pasal-pasal bermasalah lainnya karena rumusan pasalnya tidak ketat (karet) dan multitafsir:
1. Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan. Pasal ini bermasalah soal sensor informasi;
2. Pasal 27 ayat 1 tentang asusila. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online;
3. Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi, dianggap bisa digunakan untuk represi warga yang menkritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara;
4. Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal ini dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.
5. Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal ini bermasalah lantaran dapat dipakai untuk memidana orang yang ingin lapor ke polisi.
6. Pasal 36 tentang kerugian. Pasal ini dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
7. Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoax.
8. Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses. Pasal ini bermasalah karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
9. Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.
Baca: Jokowi Minta Polri Hati-hati Terjemahkan Pasal UU ITE: Bisa Timbulkan Multitafsir
Baca: Foto Tara Basro Disebut Bisa Langgar UU ITE, ICJR Minta Kominfo Beri Penjelasan
Sejak diresmikan, UU No 11 Tahun 2008, khususnya pasal 27 ayat 3 sudah menjerat puluhan orang.
Sepanjang tahun 2020, lembaga pemerhati keamanan internet, Safenet mencatat sudah ada 34 kasus terjadi.
Presiden Joko Widodo sebelumnya pernah menganjurkan revisi terhadap UU ITE pada DPR pada Desember 2015 silam.
Revisi tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016.
Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika kala itu meyakini setelah dilakukan revisi, UU ITE tidak akan lagi mengkriminalisasi kebebasan berpendapat.
Rudiantara melanjutkan, revisi tersebut akan memberikan kepastian pada masyarakat.
Salah satunya terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang kerap menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
"Dengan revisi ini, tidak ada multitafsir. Karena tuntutan hukum dari maksimal enam tahun menjadi maksimal empat tahun.
Jadi tidak bisa ditangkap baru (kemudian) ditanya, karena semuanya harus ada proses. Lalu deliknya adalah delik aduan," kata Rudiantara pada 2016 silam.
(tribunnewswiki.com)