TRIBUNNEWSWIKI.COM – Penerapan UU ITE kembali ramai diperbincangkan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan ia bisa meminta DPR untuk melakukan revisi pada UU ITE apabila penerapannya di masyarakat tidak adil, beberapa hari lalu.
Menurutnya, pasal-pasal di dalamnya bisa menjadi hulu dari persoalan hukum, terutama pasal-pasal karet yang dapat menimbulkan multitafsir.
Setidaknya ada 9 pasal dalam UU ITE yang berpotensi multitafsir dan menjadi pasal karet.
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Pranowo pun meminta jajarannya agar bisa selektif dalam menggunakan dan menerapkan UU ITE.
Hal tersebut disampaikannya dalam Rapat Pimpinan Polri 2021 pada Selasa (16/2/2021).
Mengutip dari Kompas.com, menurut Listyo, UU ITE selama ini digunakan untuk saling melapor sehingga berpotensi menciptakan polarisasi di masyarakat.
Akibatnya, undang-undang ini dirasa tidak lagi sehat.
Baca: Jokowi Bisa Tugaskan DPR untuk Revisi UU ITE, YLBHI: Harus Pastikan Bukan Sekedar Retorika Belaka
Baca: Fraksi PKS Dukung Jokowi Revisi UU ITE: Rencana Ini Sejalan dengan Pandangan Kami
Listyo mencontohkan, bahwa saat ini masyarakat menganggap Polri berpihak pada kelompok tertentu dalam menerapkan UU ITE.
"Ada kesan bahwa UU ITE ini represif terhadap kelompok tertentu. Tapi tumpul terhadap kelompok yang lain. Sehingga tentunya, mau tidak mau ini menjadi warna polisi, kalau kita tidak bisa melakukan ini secara selektif," ujar Listyo dikutip dari Kompas.
Dalam sebuah kicauan baru-baru ini, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto mengungkapkan ada sembilan pasal bermasalah dalam UU ITE.
"Persoalan utama pasal 27-29 UU ITE. Ini harus dihapus karena rumusan karet dan ada duplikasi hukum," tulis Damar dalam sebuah kicauan.
Salah satu pasal yang dimaksud masih ada kaitannya dengan pasal 27 ayat 3 tentang defamasi.
Defamasi atau dergama atau fitnah merupakan komunikasi kepada satu orang atau lebih yang bertujuan untuk memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa yang dilakukan oleh pihak lain berdasarkan atas fakta palsu.
Stigma itu dapat memengaruhi penghormatan, wibawa, atau reputasi seseorang.
Hal terkait fitnah adalah pengumuman fakta yang bersifat pribadi kepada publik, yang muncul ketika seseorang mengungkapkan informasi yang bukan masalah umum, dan hal tersebut bersifat menyerang pribadi yang bersangkutan.
Hukum penjelasan palsu "terutama ditujukan untuk melindungi kesejahteraan mental atau emosional penuntut".
Jika publikasi informasi itu palsu, terjadilah kesalahan berupa fitnah.
Jika komunikasi itu tidak salah secara teknis namun menyesatkan, kesalahan berupa penjelasan palsu bisa terjadi.
Ia menganggap, pasal ini dapat digunakan untuk membatasi kebebasan berekspersi masyarakat.
Pasal itu terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media massa.
Baca: Jokowi akan Minta DPR Revisi UU ITE Jika Tak Bisa Berikan Rasa Keadilan
Baca: Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)