TRIBUNNEWSWIKI.COM - Coca-Cola dan Starbucks memutuskan memboikot iklan di Facebook sebagai bentuk protes terhadap kasus ujaran kebencian Donald Trump di media sosial itu.
Kedua perusahaan ini bergabung dengan 160 perusahaan lainnya yang turut menarik iklannya dari platform media sosial buatan Mark Zuckerberg tersebut.
Sebelum CocaCola dan Starbucks, dua merek ternama lainnya yang menarik iklannya dari Facebook adalah Unilever, The North Face, dan Levi Strauss.
Akibat boikot besar-besaran ini nilai perusahaan turun lebih dari 8 persen menjadi sekitar 72 miliar dollar AS (Rp 1 kuadriliun).
Dilansir dari The New Daily, Senin (29/6/2020), Starbucks mengatakan akan menghentikan sementara periklanan di semua platform media sosial, karena menganggap itu cara terbaik untuk membantu menghentikan ujaran kebencian.
Sementara itu, CocaCola mengungkapkan untuk sementara tidak beriklan di Facebook selama sebulan, untuk "menilai kembali kebijakan periklanan kami untuk menentukan apakah diperlukan perubahan".
"Tidak ada tempat untuk rasialisme di dunia dan tidak ada tempat untuk rasialisme di media sosial," kata pimpinan Coca-Cola Company, James Quincey.
"Kami juga berharap akuntabilitas dan transparansi yang lebih besar dari mitra media sosial kami," lanjutnya dikutip dari The New Daily.
Lalu Starbucks pada Minggu (28/6/2020) berujar akan "melakukan diskusi internal bersama mitra media dan organisasi hak sipil, untuk menghentikan penyebaran ujaran kebencian."
Baca: Sempat Mengunggah Video Supremasi Ras Kulit Putih di Twitter, Donald Trump Dikecam Banyak Pihak
Baca: Blacklist Pekerja Asing Masuk AS, Donald Trump Dikritik karena Batasi Imigran dan Perlambat Ekonomi
Namun, penarikan iklan sementara oleh Starbucks tidak mencakup YouTube yang dimiliki oleh Google dan Alphabet, demikian laporan CNBC.
Meski Starbucks dan CocaCola menghentikan sementara iklan di Facebook, mereka belum bergabung dengan kampanye boikot "Stop Hate for Profit" yang dimulai awal Juni.
Kampanye itu diluncurkan oleh kelompok-kelompok advokasi, termasuk Anti-Defamation League, National Association for the Advancement of Coloured People, dan Colour of Change.
Gerakan tersebut menuntut Facebook dan bosnya, Mark Zuckerberg, untuk menerapkan kebijakan yang lebih ketat terhadap ujaran kebencian dan pelecehan.
Pada Jumat (26/6/2020) Zuckerberg mengatakan Facebook akan berbuat lebih banyak untuk menangani ujaran kebencian.
Dikatakannya, platform media sosial itu juga akan memperluas kebijakannya untuk lebih melindungi imigran, migran, pengungsi, dan pencari suaka dari iklan yang menunjukkan kedudukan mereka lebih rendah, atau yang menghina mereka.
Kampanye "Stop Hate for Profit" muncul seusai Facebook tidak menindak unggahan-unggahan Presiden AS Donald Trump terkait kematian George Floyd, yang memicu demonstrasi besar di banyak negara.
Twitter pada bulan Mei menindak Trump dengan melabeli twitnya dengan "cek fakta" serta "glorifikasi kekerasan".
Namun di saat Twitter bergerak, Zuckerberg bergeming dan mengatakan kepada Fox News bahwa Facebook tidak berhak mengaturnya. Akibatnya, dua pegawai senior Facebook mundur dan boikot iklan pun terjadi.
Baca: Gara-gara Pengguna TikTok, Kampanye Donald Trump Jadi Sepi: Borong Tiket Tapi Tak Datang Ke Acara
Sempat Mengunggah Video 'Supremasi Ras Kulit Putih' di Twitter, Donald Trump Dikecam Banyak Pihak
Donald Trump sedang dalam posisi genting terkait Amerika Serikat (AS) yang terombang-ambing akibat Covid-19 dan gelombang protes dengan demonstrasi atas tindakan rasisme kepolisian di negara tersebut.
Meninggalnya seorang warga Amerika Serikat berkulit hitam, George Floyd, telah membangkitkan solidaritas nasional dan internasional untuk menghentikan segala aksi rasisme baik secara tindakan ataupun verbal.
Demonstrasi pun masih terjadi hingga hari-hari ini di Amerika Serikat dan telah menyebar hampir diseluruh negara bagian.
Namun, di tengah situasi genting terkait persoalan rasial, Presiden Amerika Serikat Donald Trump justru membuat blunder fatal.
Donald Trump pada Minggu (28/6/2020) justru kedapatan mengunggah video tentang "white power" di Twitter, tapi kemudian menghapusnya.
Video itu berisi saling balas cemoohan antara demonstran anti-Trump dan para pendukungnya, ketika seorang pria meneriakkan "white power" secara lantang.
"Terima kasih kepada orang-orang hebat di The Villages," tulis Trump di caption video Minggu (28/6/2020) lalu.
The Villages merupakan destinasi liburan yang berlokasi di Sumter County, Florida, AS.
"Radikal Kiri Tidak Melakukan Apa-apa Demokrat Akan Jatuh di Musim Gugur," lanjut caption tersebut.
Video itu tampaknya direkam di sebuah kelompok pensiunan Florida.
Terlihat seorang pria mengendarai mobil golf bertuliskan "Trump 2020" dan "America First", yang diteriaki "rasis" oleh demonstran di pinggir jalan.
Ketika mereka saling berteriak, salah satu pengemudi mobil golf berulang kali mengucapkan kata-kata "white power" sembari mengepalkan tangan.
"White power! Ini dia, white power."
"Apakah kamu mendengarnya?" balas teriakan demonstran.
Istilah "white power" identik dengan supremasi ras kulit putih atau kaukasian.
Istilah ini dianut oleh neo-Nazi, kaum skinhead, dan para anggota Ku Klux Klan.
Trump mengunggah videonya sekitar pukul 07.30 pagi waktu setempat, dan pada pukul 11.00 video itu dihapus.
Tak lama kemudian Gedung Putih mengeluarkan pernyataan, presiden tidak mendengar teriakan "white power" sebelum mengunggah video.
"Presiden Trump adalah penggemar berat The Villages."
"Dia tidak mendengar pernyataan yang ada di video," kata juru bicara Gedung Putih Judd Deere dikutip dari AFP.
"Apa yang diihatnya adalah antusiasme yang luar biasa dari banyak pendukungnya."
Baca: Positif Covid-19 Tembus 2 juta Orang di Amerika Serikat, Donald Trump Tetap Gelar Kampanye Capres
Baca: Terima Komplain, Twitter dan Facebook Hapus Video Tim Kampanye Donald Trump tentang George Floyd
Trump sudah lama dituding melanggengkan dan menyuburkan konflik rasial, termasuk di kasus kematian pria Afrika-Amerika George Floyd sebulan yang lalu.
Sebelumnya, Trump sempat menyebut ada "orang-orang yang sangat baik" di kedua pihak saat neo-Nazi bentrok dengan demonstran yang menentangnya di Virginia, Charlottesville, pada 2017.
Kembali ke persoalan video "white power", rekaman di The Villages itu memicu kecaman banyak pihak.
"Hari ini Presiden membagikan video orang-orang yang berteriak 'white power' dan menyebut mereka hebat. Seperti yang dia lakukan setelah Charlottesville," twit capres AS lawan dari Trump, Joe Biden beberapa jam kemudian.
"Kita dalam pertempuran untuk jiwa bangsa - dan Presiden telah memihak ke salah satu sisi."
"Tapi jangan salah: ini adalah pertempuran yang akan kita menangkan," lanjut Biden yang merupakan capres dari Partai Demokrat.
Komite Nasional Demokrat dalam sebuah pernyataan terpisah mengemukakan, "kita butuh seorang presiden yang akan menyembuhkan luka bangsa kita dan mempersatukan rakyat Amerika, bukan seorang demagog yang coba memecah belah kita melalui ketakutan dan kemunafikan."
Demagog adalah istilah untuk menyebut petinggi politik yang berupaya meraup dukungan dari prasangka golongan mayoritas, ketimbang meredam ketegangan.
Sementara itu para sekutu Trump sependapat menentang twit itu dalam talkshow Minggu pagi.
Tim Scott satu-satunya senator kulit hitam di Partai Republik, menyebut video itu "ofensif" ketika diwawancarai progran State of The Union dari CNN.
"Kita bisa bermain politik dengannya atau kita tidak."
"Saya tidak akan melakukannya. Saya pikir itu tidak bisa disanggah."
"Kita harus menghapusnya. Itu menurutku." Sekretaris Kesehatan Trump Alex Azar juga ditanyai CNN, dan dia mengklaim belum melihat video atau twit Trump itu.
"Tapi jelas, baik presiden, jajaran pejabatnya, atau saya tidak akan melakukan apa pun untuk mendukung supremasi kulit putih atau apa pun yang akan mendukung diskriminasi dalam bentuk apa pun," ucap Azar kepada CNN.
(Tribunnewswiki.com/Ris/Tyo/Kompas/Aditya Jaya Iswara)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "CocaCola dan Starbucks Ikut Boikot Iklan di Facebook, bersama 160 Perusahaan Lain"