TRIBUNNEWSWIKI.COM - Sebagai seorang yang berada dalam posisi presiden, Joko Widodo (Jokowi) berhak dan memiliki kewenangan penuh menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Maka, adalah hal mustahil bila Jokowi akan diimpeachment DPR karena menjalankan apa yang menjadi kewenangan Jokowi sebagai presiden.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Senin (7/10/2019).
Menurut Hamda Zoelva, penerbitan Perppu tersebut tidak akan membuat presiden dimakzulkan atau impeachment.
"(Penerbitan Perppu) itu wewenang subjektif dari presiden. Itu adalah kewenangan yang diberikan konstitusi. Jadi mana mungkin di-impeach," kata Hamdan Zoelva.
Baca: Perumus UU KPK: Jokowi Bisa Lengser Jika Keluarkan Perppu Sebelum Revisi UU KPK Disahkan
Baca: Tagih Janji terkait Pemberantasan Korupsi, Jokowi Didesak untuk Segera Terbitkan Perppu KPK
Dia menjelaskan, menerbitkan Perppu merupakan kewenangan Presiden yang diatur Undang-Undang Dasar 1945.
Sehingga, kata dia, segala kewenangan yang diberikan UUD 1945 bila dijalankan dengan itikad baik tidak bisa dihukum.
"Presiden boleh mengeluarkan dan tidak mengeluarkan Perppu. Itu kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar dan tidak ada yang bisa menggangu gugat presiden. Karena itulah UUD 1945 memberikan wewenang kepada presiden," katanya.
Baca: Presiden Jokowi Masuk Urutan ke-13 dalam Daftar 500 Tokoh Muslim Berpengaruh di Dunia Edisi 2020
Baca: Bursa Kandidat Menteri Kabinet Jokowi, Erick Thohir, Putri Hary Tanoe, CEO Go-Jek hingga Wishnutama
Untuk diketahui, belakangan ini muncul pro dan kontra terhadap perlu atau tidaknya menerbitkan Perppu terhadap berlakunya Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan bahwa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
MK pernah menerbitkan putusan mengenai syarat-syarat konstitusional sebagai ukuran keadaan “Kegentingan yang memaksa” bagi presiden untuk menerbitkan Perppu.
Hal ini tertuang di putusan nomor :138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010.
Baca: INI BOCORAN dari Jokowi soal Siapa Menteri Kabinet Baru: Hitung Mundur Pelantikan Jokowi-Maruf
Baca: Tiga Politisi Ini Minta Jokowi Tak Terbitkan Perppu KPK, dari Fahri Hamzah hingga Maman Imanulhaq
Tiga syarat tersebut, yaitu pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
Kedua, UU yang dibutuhkan itu belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai;
Ketiga, kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosudur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
76,3 Persen Publik Setuju Presiden Jokowi Terbitkan Perppu KPK
Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei nasional terkait respons publik terhadap Rancangan Undang-Undang KPK yang sudah disahkan DPR RI.
Dari 1.010 responden, sebanyak 70,9 persen publik menilai revisi UU KPK sebagai bentuk pelemahan terhadap KPK.
Sementara 18 persen publik menilai revisi UU KPK sebagai bentuk penguatan KPK.
Sedangkan 11,1 persen publik mengaku tidak tahu.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan saat memaparkan rilis hasil survei yang dilakukan pihaknya.
Baca: PDIP Warning Jokowi Jika Berani Keluarkan Perppu UU KPK: Kami Anggota DPR Punya Otoritas Sendiri
Baca: Jokowi Mulai Melunak, Penerbitan Perppu Batalkan UU KPK Akan Dipertimbangkan
"Publik setuju. Ada 70,9 persen dari publik yang tahu revisi UU KPK, menyatakan bahwa revisi UU yang baru itu melemahkan KPK. Mayoritas mutlak," kata Dyajadi, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (6/10/2019).
"Hanya 18 persen dari publik menyatakan bahwa revisi UU KPK itu menguatkan," tambah dia.
Kemudian, berdasarkan survei 76,3 persen publik setuju bila Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu KPK untuk membatalkan Revisi UU KPK yang baru.