"Saya ikuti hukum, karena saya ini orang bodoh, tidak tahu bagaimana hukum itu. Saya minta tolong benar ke kepolisian, bagaimana jalan keluarnya ini. Kami meminta hukuman yang adil saja."
Korban AA, kenang S sebagai anak yang baik dan sopan.
Ia mengenang permintaan terakhir anaknya minta dibelikan ponsel untuk aktivitas sekolahnya.
Tapi karena S tidak punya uang, AA kemudian berinisiatif mencari uang tambahan dengan berjualan balon.
"Dia minta nanti saya tambahin uangnya untuk beli ponsel. Sudah jualan dan upahnya juga sudah ditabungnya sedikit demi sedikit. Tapi ada musibah ini, hancur semua harapan saya. Tidak bisa lagi ngungkapin bagaimana sakitnya," ujarnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, menyatakan prihatin atas apa yang menimpa AA dan keluarga.
Dirinya bisa memaklumi jika keluarga AA menuntut hukuman yang setimpal atas kematian korban.
Dalam kasus ini KPAI, katanya, bertugas mengawasi proses hukum yang berjalan demi memastikan hak-hak korban maupun anak yang berhadapan dengan hukum dipenuhi.
Maka, pada pekan lalu KPAI menemui tiga anak pelaku: MZ, NS, dan AS.
Dalam pertemuan singkat itu, mereka mengakui pernah mengonsumsi tayangan pornografi.
"Makanya kami belum berani menyatakan apakah mereka kencanduan atau tidak," ucap Dian kepada BBC News Indonesia.
Secara fisik, ketiganya tampak sehat. Kendati menunjukkan ada kondisi tekanan psikis.
Ketiganya menyadari bahwa perbuatan mereka salah dan beberapa kali mereka menangis sebagai bentuk penyesalan.
"Dari respon mereka, ya ini berat... mereka tahu setiap kesalahan harus siap dengan konsekuensi yang ada."
Psikologi forensik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Lucia Peppy, mengatakan secara umum anak-anak usia dini hingga usia sekolah punya kekhasan dalam hal meniru.
Mereka akan memproduksi apa yang dilihat.
"Misalnya anak-anak melihat orang memukul tapi ekspresinya senyum, maka dipikirannya bahwa memukul itu bikin senang," ujar Lucia Peppy kepada BBC News Indonesia.
"Tapi karena kemampuan diri mereka dalam mengontrol emosi, moral, dan sosial belum sempurna jadinya tidak bisa bernalar dengan baik."
Akibat dari kemampuan bernalar yang belum sepenuhnya sempurna itu, menyebabkan mereka tak bisa menentukan mana yang benar dan salah.
Dalam kasus yang terjadi di Palembang, dia menduga ada beberapa faktor yang mendorong para pelaku melakukan tindakan pemerkosaan sampai pembunuhan.
Semakin sering seseorang terpapar konten-konten pornografi, maka daya dorong untuk melakukannya di dunia nyata akan semakin besar.
Namun, kecanduan konten pornografi saja tidak cukup menjadi alasan yang mendorong seseorang bakal melakukan tindakan pemerkosaan.
Ada kontribusi pengasuhan orang tua dan lingkungan yang disebutnya tidak berperan sebagai kontrol sosial dan memberikan pengetahuan soal pendidikan seksual.
"Anak yang berhadapan dengan hukum ini kan sebetulnya korban juga, tapi mereka melakukan perbuatan yang salah. Kesalahan ini terjadi karena anak tidak mendapatkan pengasuhan dan ruang pertumbuhan yang layak."
"Jadi ada tanggung jawab orang di sekitar yang sampai membuat mereka terpapar [konten pornografi]."
Faktor lainnya yang juga menentukan adalah pertemanan dan karakter anak tersebut apakah termasuk yang eksploratif atau tidak.
"Ada orang yang nonton berkali-kali, tapi enggak berani melakukan. Tapi ada orang yang cuma sekali, tapi karena karakternya eksploratif, akan langsung mempraktekkan."
"Kemudian pertemanan, kalau dia berkumpul sama anak-anak yang ibadahnya kuat misalnya, maka akan ada rem untuk berbuat negatif."
"Jadi penyebabnya tidak pernah tunggal, tapi kompleks sekali."
Konsumsi berlebihan terhadap konten-konten pornografi atau seksual, kata Lucia Peppy, akan membuat 'kamus memori otaknya' dipenuhi oleh aktivitas-aktivitas seksual. Dan ketika berinteraksi dengan perempuan bisa menjadi agresif.
Bagi remaja apalagi yang sudah pubertas, maka dorongan melakukan aktivitas seksual dini sangat mungkin terjadi.
"Kayak menyentuh bagian-bagian tubuh perempuan atau bicaranya jadi cabul."
"Jadi dunianya terbatas pada seksual saja."
Dokter spesialis kejiwaan, Evline Gunawan, juga membeberkan dampak kecanduan konten pornografi di antaranya hilangnya impuls kontrol.
"Mereka makin banyak melakukan tindakan-tindakan impulsif dalam hal seksualitas," ujarnya.
Kemudian muncul masalah dalam hal belajar, relasi sosial, dan produktivitas. Itu mengapa menurut dia, pengawasan oleh orang tua terhadap anak-anak harus diperketat.
Ia menyarankan kepada para orang tua agar lebih sering mengajak anak mereka bicara dan bertanya tentang apa-apa saja yang dikonsumsi dari gawai mereka.
Jika dirasa konten tersebut berbahaya, maka bisa diberi pemahaman tentang apa dampak dari tontonan tersebut.
Intinya, mengajari anak tersebut tentang apa konsekuensi jika meniru konten itu.