Dari hasil pemeriksaan, polisi menyebut motif dari empat pelaku melakukan pemerkosaan terhadap AA karena ingin menyalurkan hasratnya.
Pasalnya para pelaku disebut polisi kecanduan konten pornografi berdasarkan bukti temuan video-video bermuatan pornografi di ponsel milik IS.
"Kami telah melakukan pemeriksaan terhadap pelaku yang dipandu oleh psikolog Biro SDM Polda Sulsel. Motifnya adalah menyalurkan nafsu," ucap Harryo.
Para pelaku, kata polisi, dikenakan pasal 76C dan pasal 80 ayat 3 UU yakni penganiayaan dan pencabulan sesuai UU nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Namun demikian karena tiga di antara pelaku masih berusia anak, maka MZ, NS, dan AS dititipkan di panti sosial rehabilitasi anak bermasalah hukum (PSR ABH) Indralaya.
Sementara IS mendekam di rutan Polrestabes Palembang.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sumatra Selatan, Sunarto, menyebutkan kendati masih berusia anak proses hukum ketiganya tidak akan dikesampingkan.
Meski begitu hukuman yang dikenakan bukan pemidanaan.
Merujuk pasal 69 UU nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, maka anak yang berhadapan dengan hukum akan dikenai tindakan berupa pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, atau perawatan di lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial (LPKS), serta kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah/badan swasta.
S, ayah AA, tak terima jika para pelaku hanya dikenai tindakan berupa rehabilitasi, bukan menjalani hukuman pidana.
Sebab, meskipun tiga di antara pelaku masih berusia anak, tapi perbuatan mereka mengakibatkan putri kesayangannya meninggal.
"Sebagai orangtua AA, jika anak itu [tiga orang pelaku] direhabilitasi saja, enak bener. Karena ini menyangkut nyawa, masak harus dibebaskan tanpa syarat? Mereka memang di bawah umur, tapi pikirannya sudah dewasa," ucapnya kepada wartawan Nefri Inge di Palembang yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Baginya perbuatan para pelaku sudah tidak manusiawi.
Apalagi orang tua pelaku hingga sekarang tidak ada itikad baik untuk bertanggung jawab atau meminta maaf kepada keluarganya.
Jika orang tua pelaku menyambanginya dan meminta maaf, Safarudin kemungkinan menerima dengan tangan terbuka serta memberi maaf kepada pembunuh anaknya.
"Seandainya orangtua pelaku, terutama otak pelaku itu [IS] meminta maaf, saya masih pertimbangkan menerima para pelaku [direhabilitasi]."
"Saya maafkan, ada cara kekeluargaan, karena Tuhan saja Maha pengampun ke umat-Nya. Kita siap menerima siapa pun. Kalau orang tuanya takut, bisa minta dampingi RT, camat atau lainnya. Tapi kalau begini, apa maksud orang tua pelaku. Apalagi mau direhab, saya benar-benar tidak terima."
Pria paruh baya ini masih sangat terpukul dengan kematian sang anak.
Namun demikian, ia akan mengikuti proses hukum yang berjalan.