Kasus Pilu Siswi SMP di Palembang Diperkosa dan Dibunuh 4 Anak, Ada Faktor Kecanduan Pornografi

Penulis: Putradi Pamungkas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Polisi melakukan olah TKP di areal Tempat Pemakaman Umum (TPU) Talang Kerikil, Kecamatan Sukarami, Palembang, Sumatera Selatan, untuk mencari bukti tambahan terkait kasus pembunuhan pelajar SMP bernama Ayu Andriani (13), Rabu (4/9/2024)

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Seorang anak berhadapan dengan hukum berinisial IS (16 tahun).

Ia diduga menjadi otak pelaku pembunuhan dan pemerkosaan AA (13 tahun)—gadis SMP di Palembang, Sumatera Selatan.

Anak tersebut divonis 10 tahun hukuman penjara, lebih ringan dari tuntutan hukuman mati yang diajukan jaksa.

"Menjatuhkan pidana penjara terhadap IS hukuman pidana penjara selama 10 tahun," kata Ketua Majelis Hakim, Eduward di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Kamis (10/10), dikutip dari Kompas.com.

IS diwajibkan mengikuti pelatihan kerja selama satu tahun di Dinas Sosial Kota Palembang.

Majelis hakim menganggap IS terbukti bersalah melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 Ayat 5 Undang-Undang Perlindungan Anak juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.

Sementara, tiga anak lainnya, MZ (13), NZ (12) dan AS (12)—yang dikategorikan sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH)—juga divonis terbukti bersalah.

Sebelumnya, keluarga korban AA yang diduga diperkosa dan dibunuh oleh empat anak di Palembang, Sumatra Selatan, ingin para pelaku dihukum setimpal dengan perbuatan mereka.

S, ayah korban, mengaku tak terima jika pelaku hanya direhabilitasi lantaran tindakan mereka telah merenggut nyawa sang anak.

"Sebagai orangtua AA, jika anak itu [tiga orang pelaku] direhabilitasi saja, enak bener. Karena ini menyangkut nyawa, masak harus dibebaskan tanpa syarat?" ujar S.

Ilustrasi pemerkosaan (kompas.com)

Kepolisian Sumatra Selatan menyebut motif dari empat pelaku melakukan pemerkosaan terhadap AA lantaran ingin menyalurkan hasratnya. Pasalnya para pelaku disebut kecanduan konten pornografi.

Komisioner KPAI, Dian Sasmita, menyebutkan tiga pelaku berusia anak yang dititipkan di panti sosial menyadari perbuatan mereka salah dan beberapa kali mereka menangis sebagai bentuk penyesalan.

Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) telah meminta bahwa penegakkan hukum kasus ini harus dengan hati-hati, dan tidak semata-mata merespon dengan pembalasan, yang justru akan meneruskan siklus kekerasan.

Mengapa tuntutan hukum diprotes?
 
Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA), menyatakan tuntutan tersebut melanggar undang-undang.

"Anak berkonflik dengan hukum tidak dapat dijatuhkan pidana mati atau seumur hidup. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 huruf f UU SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak) yang mengatur bahwa anak berhak untuk tidak dijatuhkan pidana mati atau pidana seumur hidup," ujar peneliti ICJR, Adhigama Andre Budiman dalam keterangan tertulis yang diterima BBC News Indonesia, Kamis (10/10).

Selain itu, pasal 81 Ayat (6) UU SPPA secara jelas menyatakan jika anak berkonflik dengan hukum yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pidana penjara sekalipun hanya dapat diberlakukan sebagai upaya terakhir dan tidak dapat dijatuhi pidana mati.

"Menuntut pidana mati pada anak merupakan pelanggaran UU," tegas Adhigama.

Bagaimana kronologinya?

Peristiwa pemerkosaan yang disertai pembunuhan terhadap siswi SMP berinsial AA (13 tahun) terjadi Minggu (01/09).

Halaman
1234


Penulis: Putradi Pamungkas

Berita Populer