Raden Mas Priatman, putra sulung Tirto Adhi Soerjo mengatakan ayahnya lahir di Blora, Jawa Tengah pada 1975, begitu juga dengan yang tertulis di nisannya di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Blender, Kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat.
Namun Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa hal tersebut tidak tepat. (3)
Sumber lain, Tirto Adhi Soerjo dilahirkan di Blora pada 1880 dari keluarga ningrat.
Ayahnya, Raden Ngabehi Moehammad Chan Tirtodhipoero adalah seorang petugas pajak, sedangkan kakeknya Raden Mas Tumenggung Tirtonoto adalah seorang Bupati Bojonegoro.
Membela Lewat Tulisan
Sejak masih sekolah di STOVIA, Tirto Adhi Soerjo sudah aktif menulis untuk beberapa media.
Ketika bekerja di Pawarta Priangan, Tirto Adhi Soerjo sempat menetap di Bandung sebelum akhirnya dia pindah lagi ke Batavia karena surat kabar itu bangkrut.
Tirto Adhi Soerjo kemudian bergabung dengan Pembrita Betawi sebagai redaktur, di sana kariernya melesat cepat.
Pada 1901, Tirto Adhi Soerjo sudah menjadi redaktur kepala, kemudian setahun berselang ia sudah dipercaya menjadi pemimpin redaksi.
Semasa bekerja di sana, Tirto Adhi Soerjo belajar dari Karel Wijbrands, seorang jurnalis senior, pemimpin redaksi Niews van den Dag.
Baca: Pahlawan Nasional - KH Masykur
Tirto Adhi Soerjo mendapat bimbingan tentang bagaimana mengelola sebuah penerbitan dan ditunjukkan jalan supaya kelak bisa memiliki terbitan sendiri.
Wijbrands juga menyarankan kepada Tirto Adhi Soerjo agar mempelajari hukum untuk mengetahui batas-batas kekuasaan pemerintah kolonial, beserta hak dan kewajibannya.
Lebih lanjut, Tirto Adhi Soerjo juga diajari tentang harga diri menurut standar Eropa dan teknik menghantam kolonial, bukan pemerintah yang diserang, tetapi aparatnya lantaran hasilnya sama saja.
Tirto Adhi Soerjo juga diminta mendalami tata pemerintahan supaya lebih jeli dalam menilai kekuasaan.
Sementara untuk mengenal bangsa bumiputera yang mayoritas Muslim, Tirto Adhi Soerjo diminta mendalami ajaran Islam berikut hukum-hukumnya.
Berkat saran Wijbrands, Tirto Adhi Soerjo kemudian menerbitkan Soenda Berita, sebuah surat kabar pertama di Indonesia yang diterbitkan, dikelola, dan dimodali sendiri oleh orang bumiputra.
Soenda Berita yang diluncurkan 7 Februari 1903 menjadi tonggak sejarah pers nasional.
Baca: Museum Haji Samanhoedi
Surat kabar ini merupakan embrio yang menjdi pretaruhan sekaligus petunjuk pertama ke mana arah ayun kecendekiaan Tirto Adhi Soerjo dalam menyuluh bangsanya secara nasional.
Untuk menarik minat dan menyadarkan pembaca yang memang ditujukan kepada rakyat kebanyakan, Soenda Berita disematkan “Kepoenjaan kami pribumi” oleh Tirto.
Sayangnya, Soenda Berita lantas mengalami krisis finansial.