Dia mengatakan pemerintah Myanmar mengambil tanggung jawab serius dan pelaku semua pelanggaran hak asasi manusia yang "menyebabkan arus besar pengungsi ke Bangladesh harus dimintai pertanggungjawaban".
Kedua negara baik Gambia dan Myanmar sebelumnya telah menandatangani Konvensi Genosida 1948 yang melarang adanya genosida dan melarang semua negara yang menandatangani agar mencegah serta menghukum kejahatan genosida.
Menurut aturan Mahkamah Internasional, negara anggota yang telah menandatangani konvensi ini dapat mengambil tindakan terhadap negara anggota lainnya atas dugaan pelanggaran hukum internasional.
Baca: MIRIS Puluhan Pengungsi Banjir di Kalimantan Selatan Tempati Bekas Kandang Ayam
Baca: UNHCR Apresiasi Masyarakat Aceh Karena Selamatkan 300 Pengungsi Rohingya
Seorang aktivis Rohingya yang telah menetap di Kanada mengakui bahwa langkah yang diambil oleh Gambia adalah penting.
Hal ini diakuinya agar negara-negara lain dapat mengakui penderitaan etnisnya.
"Sangat penting bagi kami untuk merasa bahwa rasa sakit yang dirasakan warga Rohingya diakui karena selama hidup kami telah dicekoki bahwa kami adalah kelompok yang tak berharga," katanya setelah diskusi panel di Den Haag.
"Tetapi juga penting bahwa kata 'genosida' telah diucapkan begitu banyak dalam waktu satu jam ... dan kami telah mengupayakan hal itu sejak lama dan akhirnya itu didengar."
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dnegan judul Ratusan Warga Rohingya Kabur dari Aceh, Tersisa 112 Orang