Saat ini, mereka berada di Polres Bireuen, Polres Lhokseumawe dan Polres Aceh Tamiang.
Diketahui warga Rohingya ini meninggalkan kamp tanpa sepengetahuan petugas.
Dilansir Kompas.com, ada 281 warga Rohingya melarikan diri dari kamp penampungan sementara di BLK Lhokseumawe, Aceh.
Bahkan 3 orang di antaranya meninggal dunia.
Public Relations Officer UNHCR Indonesia Mitra Suryono, Sabtu (23/1/2021), mengatakan mereka datang 2 gelombang dan meninggalkan kamp tanpa sepengetahuan petugas.
Gelombang pertama sebanyak 99 orang terdampar di Aceh Utara, dan 297 orang di Kota Lhokseumawe.
Tercatat keseluruhannya ada 396 orang yang ditampung di Kamp BLK Lhokseumawe.
Namun untuk saat ini hanya tersisia 112 orang di kamp penampungan sementara.
“Mereka meninggalkan kamp tanpa sepengetahuan petugas. Mereka menggunakan jasa pihak ketiga untuk menyeberang ke Malaysia, karena sejak awal memang tujuan mereka Malaysia,” kata Mitra.
UNHCR, lanjut Mitra, memberikan pemahaman tentang bahaya menggunakan jasa pihak ketiga untuk memasuki negara lain.
Baca: UNHCR Apresiasi Masyarakat Aceh Karena Selamatkan 300 Pengungsi Rohingya
Baca: Pengadilan Tinggi Malaysia Bebaskan 27 Pengungsi Muslim Rohingya dari Hukuman Cambuk
Tindakan itu berpotensi adanya tindak kriminal atau semacamnya.
Oleh sebab itu, Mitra mengungkapkan agar warga Rohingya tidak meninggalkan kamp.
“Kami imbau selalu agar mereka tidak meninggalkan kamp. Tetap di kamp sembari menunggu opsi terbaik untuk mereka,” kata Mitra.
Hakim mahkamah pengadilan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi menyetujui permintaan jaksa penuntut untuk melakukan penyelidikan terbuka atas dugaan kejahatan genosida yang dilakukan terhadap etnis minoritas Rohingya di Myanmar.
Mahkamah internasional menyatakan bahwa lembaga pengadilan kriminal memiliki kekuasaan hukum atas kejahatan kriminal di beberapa negara anggota, seperti dilaporkan AP, Kamis, (14/11/2019).
Dalam kasus ini, pengadilan internasional dipastikan resmi mempunyai kekuasaan hukum untuk menyelesaikan kasus kriminal dugaan kejahatan genosida terhadap etnis Rohinya, yang sebagian dilakukan di negara Bangladesh, yang merupakan negara anggota peradilan.
Sementara Myanmar sebagai pihak tertuduh bukanlah anggota peradilan internasional.
Myanmar telah dituduh melakukan pelanggaran secara masif dan luas terhadap etnis minoritas Rohingya.
Telah dilaporkan sebelumnya bahwa organisasi militer di Myanmar telah melakukan operasi militer terhadap etnis Rohingya sejak Agustus 2017.
Operasi militer Myanmar ini dilakukan sebagai balasan atas aksi serangan pemberontak di Myanmar.
Akibat operasi militer ini, lebih dari 700.000 orang yang berasal dari etnis Rohingya melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh.
Aksi operasi militer ini kemudian dinilai sebagai bentuk usaha pembersihan etnis Rohingya dengan melakukan pemerkosaan massal, pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah.
Sebelumnya, sebuah negara di Afrika Barat, Gambia, resmi melaporkan Myanmar ke Mahkamah Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas tuduhan genosida terhadap warga muslim, etnis minoritas Rohingya, Senin (11/11/2019).
Negara Gambia menuduh Myanmar telah melakukan pembunuhan massal serta pemerkosaan di wilayah Rakhine, Myanmar.
Dalam laporan setebal 46 halaman di International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional, Gambia meminta dilakukan langkah yang bersifat segera untuk menghentikan aktivitas genosida di Myanmar, seperti dilaporkan ABC News, (12/11/2019).
Laporan Gambia ini menjadi kasus tuntutan yudisial pertama kepada PBB untuk dilakukan misi pencarian fakta terhadap usaha sistematis berupa dugaan pembunuhan, pemerkosaan berkelompok, pembakaran, dan rencana genosida terhadap warga Muslim Rohingya.
Tertuang di laporannya, Gambia menyebut bahwa apa yang dilakukan Myanmar terhadap etnis Rohingya menyebabkan kerusakan fisik dan mental yang serius.
Myanmar dianggap telah melakukan pemaksaan untuk mencegah kelahiran serta pemindahan paksa.
Hal inilah yang kemudian dianggap mencirikan tindakan genosida lantaran adanya maksud untuk menghancurkan kelompok Rohingya secara keseluruhan maupun sebagian.
Secara spesifik, Gambia menyebut sejumlah satuan militer Myanmar menjadi "pelaku utama" dalam "kampanye sistematis di Facebook" yang menargetkan warga Rohingya.
Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung, Gambia, Abubacarr Marie Tambadou menyatakan dirinya ingin mengirim pesan kepada Myanmar dan seluruh komunitas internasional.
Hal itu dimakudkan olehnya agar dunia tidak berdiam diri dalam menghadapi kekejaman kemanusiaan yang dalam hal ini dituduhkan terhadap Myanmar.
"Sangat memalukan bagi generasi kita bahwa kita tidak melakukan apa-apa saat berlangsung genosida tepat di depan mata kita sendiri," kata Abubacarr
Gambia yang merupakan negara kecil di daerah Afrika Barat ini merupakan negara dengan mayoritas agama Islam.
Laporan Gambia ini juga mendapat dukungan dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
Selain meminta tindakan segera, Gambia meminta Mahkamah Internasional melakukan tindakan sementara agar memastikan Myanmar dapat menghentikan genosida terhadap orang-orang Rohingya.
Baca: Pemilik Tanah Marah, Pengungsi Gempa Majene Harus Bongkar Tenda dan Pindah Tempat Mengungsi
Baca: Pengakuan Pengungsi Gempa Majene, Bantuan Hanya untuk Tenda Besar, Telantar Kesulitan Logistik
Dalam laporannya, Gambia dibantu oleh sebuah lembaga hukum, Foley Hoag.
Menurut Foley Hoag, pihaknya telah memperkirakan sidang pertama atas pelaporan tersebut yang direncanan akan dilakukan bulan depan.
Berbagai macam kelompok hak asasi manusia yang selama ini mendorong komunitas internasional agar melakukan tindakan terhadap krisis kemanusiaan di Rohingya memberi pujian terhadap langkah Gambia.
Seorang associate director keadilan internasional dari lembaga Human Rights Watch, Param-Preet Singh menyatakan kasus tersebut sebagai perubahan yang signifikan di PBB".
Ia juga meminta negara-negara lain untuk ikut mendukungnya.
Dilaporkan oleh ABC yang mengutip pernyataannya, bahwa hal nini bukan pertama kali sebuah negara melaporkan kasus genosida di mahkamah internasional.
Sebelumnya, Bosnia juga sempat melaporkan tuduhan serupa melawan Serbia pada tahun 1993.
Namun demikian, tuntutan Gambia ini adalah hal yang pertama kali bagi negara yang tidak memiliki hubungan langsung dengan kejahatan yang terjadi.
Laporan Gambia juga dilangsungkan berdasarkan Konvensi Genosida.
Selain itu, tuntutan Gambia ini juga adalah pertama kali bahwa pengadilan di Den Haag dapat melakukan investigasi atas klaim genosida tanpa membandingkan temuan dari pengadilan lain.
"Ini juga merupakan pengingat penting bahwa semua negara yang menjadi anggota konvensi genosida memiliki tanggung jawab untuk menegakkannya," kata Param-Preet Singh
"Gambia telah menemukan cara untuk membalikkan sikap komunitas internasional terhadap Rohingya menjadi sebuah tindakan." imbuhnya.
Param menambahkan bahwa apapun bentuk perintah dari Mahkamah Internasional dapat memberi tekanan signifikan terhadap Myanmar untuk "menyediakan reparasi bagi para korban genosida yang merupakan warga Rohingya".
Warga Rohingya Melarikan Diri ke Bangladesh
Dilansir oleh ABC, setidaknya 730.000 warga Muslim Rohingya kabur ke negara tetangga di Bangladesh usai terjadi dugaan penumpasan militer Myanmar pada tahun 2017.
Negara Myanmar, di mana mayoritas warganya beragama Buddha, melakukan bantahan atas tuduhan genosida tersebut.
Menurut Myanmar, tindakan keras yang dilakukan oleh aparatur militer negaranya merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menumpas militan separatis di wilayah Rakhine.
Pada bulan lalu, Duta Besar Myanmar untuk PBB, Hau Do Suan, menyebut misi pencarian fakta PBB bersifat "sepihak" dan berdasarkan pada "informasi yang menyesatkan dan sumber-sumber sekunder".
Dia mengatakan pemerintah Myanmar mengambil tanggung jawab serius dan pelaku semua pelanggaran hak asasi manusia yang "menyebabkan arus besar pengungsi ke Bangladesh harus dimintai pertanggungjawaban".
Kedua negara baik Gambia dan Myanmar sebelumnya telah menandatangani Konvensi Genosida 1948 yang melarang adanya genosida dan melarang semua negara yang menandatangani agar mencegah serta menghukum kejahatan genosida.
Menurut aturan Mahkamah Internasional, negara anggota yang telah menandatangani konvensi ini dapat mengambil tindakan terhadap negara anggota lainnya atas dugaan pelanggaran hukum internasional.
Baca: MIRIS Puluhan Pengungsi Banjir di Kalimantan Selatan Tempati Bekas Kandang Ayam
Baca: UNHCR Apresiasi Masyarakat Aceh Karena Selamatkan 300 Pengungsi Rohingya
Seorang aktivis Rohingya yang telah menetap di Kanada mengakui bahwa langkah yang diambil oleh Gambia adalah penting.
Hal ini diakuinya agar negara-negara lain dapat mengakui penderitaan etnisnya.
"Sangat penting bagi kami untuk merasa bahwa rasa sakit yang dirasakan warga Rohingya diakui karena selama hidup kami telah dicekoki bahwa kami adalah kelompok yang tak berharga," katanya setelah diskusi panel di Den Haag.
"Tetapi juga penting bahwa kata 'genosida' telah diucapkan begitu banyak dalam waktu satu jam ... dan kami telah mengupayakan hal itu sejak lama dan akhirnya itu didengar."
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dnegan judul Ratusan Warga Rohingya Kabur dari Aceh, Tersisa 112 Orang