Belgia Usir Anggota Sayap Kanan Denmark Buntut Rencana Pembakaran Al Quran di Brussel

Penulis: Dinar Fitra Maghiszha
Editor: Melia Istighfaroh
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sekretaris Negara untuk Urusan Suaka, Sammy Mahdi menyebut mereka sebagai 'ancaman serius bagi ketertiban umum di Belgia., FOTO: Bendera Belgia berkibar di Blinde-Ezelstraat 3, Bruges, Belgia

Kepalanya dipenggal pada 16 Oktober di Conflans-Sainte-Honorine, di luar Paris, seorang Chechnya.

Bahkan umat Muslim menganggap gambar nabi apa pun sebagai sebuah hujatan dan karikatur sebagai pelanggaran pada iman mereka.

Hukum Prancis sangat sekuler dan kepercayaan agama tidak menerima perlindungan khusus.

Sebelumnya, Presiden Prancis Emmanuel Macron dengan berapi-api membela kematian pria 47 tahun itu.

Dia membelanya atas kebebasan berekspresi.

Hal ini termasuk hak kartunis untuk mencemooh tokoh agama.

Negara tetangga Belgia, seperti Prancis pada beberapa taun terakhir telah menerima sejumlah serangan dan Molenbeek, yang memiliki populasi Muslim yang besar.

Erdogan Minta Macron Periksa Kesehatan Mental, Prancis: Komentar Presiden Turki Tak Bisa Diterima

Presiden Turki dan pemimpin Partai Keadilan dan Pembangunan (Partai AK) Recep Tayyip Erdogan berpidato pada pertemuan kelompok partainya di Majelis Besar Nasional Turki di Ankara, pada 28 Oktober 2020. (Adem ALTAN / AFP)

Pihak Prancis tak terima dengan pernyataan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang meminta Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk melakukan cek kesehatan mental.

Ketegangan ini merupakan buntut panjang dari usaha Macron untuk memerangi 'Islam radikal' di negaranya, seperti diberitakan BBC, Minggu (25/10/2020).

Hal itu bermula dari tewasnya seorang guru yang dibunuh karena mempertunjukkan kartun Nabi Muhammad di kelas.

Memang, penggambaran Nabi Muhammad merupakan pelanggaran serius.

Pasalnya Islam melarang untuk menggambarkan Nabi Muhammad dan Alloh.

Kendati demikian, Presiden Emmanuel Macron tegas pada pendiriannya.

Prancis "tidak akan melepaskan kartun kami", katanya awal pekan ini.

Hal itu tak lepas dari posisi Prancis sebagai neara sekuler, yang sekaligus sebagai pusat identitas nasional Prancis.

Menurut mereka, membatasi kebebasan berekspresi untuk melindungi perasaan satu komunitas tertentu, kata negara, merusak persatuan negara.

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)



Penulis: Dinar Fitra Maghiszha
Editor: Melia Istighfaroh
BERITA TERKAIT

Berita Populer