Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) membantah bahwa rumah sakit swasta melakukan "aji untung" dalam biaya tes rapid dan swab.
Ketua Umum ARSSI, Susi Setiawaty, menjelaskan bahwa tudingan "mahalnya" tes virus corona disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, pihak rumah sakit harus membeli sendiri alat dan perlengkapan tes.
Kedua, biaya untuk membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam tes tersebut, dari dokter, petugas laboratorium, hingga petugas medis yang membaca hasil tes tersebut.
"Harga list alatnya yang bisa dibeli ada di BNPB, bisa dilihat harganya. Ada cost membeli alat dan perlengkapannya, lalu tenaga kesehatan yang mengambil tes, tenaga lab, lalu biaya dokter. Masa tenaga kesehatannya tidak dibayar? Lalu ditambah pemeriksaan rontgen. Jadi price-nya berbeda-beda," kata Susi.
"Kecuali kalau dikasih semua [alatnya], monggo kalau kita dikasih enak banget."
"Tapi masalahnya kan itu tidak mungkin, bisa bangkrut pemerintah. Jadi swasta dan pemerintah saling membantu," katanya.
Baca: Waspada! Ternyata Siraman di Toilet Bisa Sebar Partikel Virus Corona ke Udara, Ahli Jelaskan Ini
Baca: Norwegia Bantah dan Klarifikasi Temuan China soal Virus Corona Berasal dari Salmon Impor di Beijing
Bahkan kata Susi, saat ini terdapat rumah sakit swasta yang menangani pasien virus corona namun belum mendapatkan bayaran dari pemerintah.
"Katanya RS mau cari untung, apanya yang mau cari untung? Masih banyak yang tidak bisa dibayar juga, banyak yang tidak bisa diklaim," katanya.
Sementara itu, berdasarkan informasi dari pihak Kesehatan Keluarga (Kesga) Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, bayi Ervina sudah meninggal di dalam kandungan.
Kronologinya adalah pada 16 Juni lalu, sekitar pukul 14.00 WITA, pasien melakukan pemeriksaan dengan keluhan "gerakan bayi tidak terasa" sejak satu atau dua hari lalu.
Lalu dilakukan pemeriksaan USG dan hasinya denyut jantung janin tidak ada dan ada tanda-tandan kematian janin dalam rahim lebih dari satu hari. Kemudian esoknya, (17/6/2020) direncanakan operasi caesar.
Sesuai protokol yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tentang "Petunjuk Praktis Layanan Kesehatan Ibu dan Bayi baru lahir selama pandemi Covid-19 No: B-4" (05 April 2020) bahwa semua ibu hamil yang akan melahirkan wajib dilakukan pemeriksaan rapid test.
Setelah pemeriksaan rapid test dilakukan ditemukan hasil positif.
Dan dari anamnesis lanjutan barulah ditemukan bahwa pasien sudah melakukan rapid test di rumah sakit lain sebelumnya dengan hasil positif.
"Pasien sebelumnya tidak menyampaikan bahwa sudah rapid test dengan hasil positif. Sesuai protokol Covid maka pasien kami layani dan observasi sambil disiapkan rujukan ke RS Pusat Rujukan Covid dan dilakukan pemeriksaan swab. Untuk operasi juga harus dilakukan di RS Rujukan Covid 19," kata laporan tersebut.
"Dalam kasus itu, sesungguhnya bayi sudah meninggal di dalam, pasien tidak menyampaikan jika sudah dites dan positif sehingga harus dites lagi, dan untuk selanjutnya di-swab. Jadi memakan waktu," kata Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Erna Mulati.
Erna meminta seluruh masyarakat, khususnya ibu hamil jika terbukti positif virus corona, untuk segera ke rumah sakit rujukan Covid-19, karena segala tindakan kesehatan pada pasien yang terpapar Covid harus dilakukan di rumah sakit rujukan Covid.
"Kalau sudah dites dan positif harusnya langsung ngomong karena dia harus langsung ke RS rujukan. Kalau sekarang prosesnya jadi panjang, seolah-olah RS bersalah, biaya swab dan lainnya. Padahal kalau dia sudah positif, tidak ada biaya swab dan lainnya jika dia ke RS rujukan," kata Erna.