Uji tes Covid-19 melalui rapid maupun swab test dianggap telah "dikomersialisasikan".
Besarnya biaya tes disebut telah menelan korban di masyarakat.
Yang terbaru, seorang ibu di Makassar, Sulawesi Selatan, dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungannya lantaran tidak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp 2,4 juta.
Padahal, saat itu dirinya membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan.
Tak pelak, pengamat kebijakan publik mendorong pemerintah untuk membebaskan biaya tes virus corona.
Apabila hal tersebut tidak memungkinkan, pemerintah dinilai perlu melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap harga tes Covid-19 sehingga terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Asosiasi Rumah Sakit Swasta mengungkapkan bahwa adanya biaya tes virus corona karena beberapa hal.
Yakni, pihak RS harus membeli alat uji dan reagent sendiri, dan juga membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam uji tersebut.
Biaya rapid test mulai dari Rp200.000 hingga Rp500.000, sementara untuk swab test (alat PCR) antara Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta, belum ditambah biaya-biaya lain.
Kementerian Kesehatan mengimbau seluruh masyarakat, terutama kelompok rentan yang positif corona berdasarkan hasil tes dan membutuhkan layanan kesehatan darurat, agar langsung berobat ke rumah sakit rujukan pemerintah Covid-19, agar semua biaya ditanggung oleh pemerintah.
Dengan begitu, diharapkan kasus yang terjadi di Makasar tidak terulang kembali.
Seorang ibu hamil bernama Ervina Yana di Makassar, Sulawesi Selatan, kehilangan bayinya di dalam kandungan saat akan dilahirkan.
Penyebabnya adalah karena tindakan operasi kelahiran yang telat akibat dia harus menjalani proses pemeriksaan Covid-19.
"Ibu Ervina ditolak tiga rumah sakit karena biaya rapid dan swab testnya tidak ada yang menanggung. Sehingga di RS terakhir, anak dalam kandungannya meninggal," kata pendamping Ervina dan juga aktivis perempuan, Alita Karen, Rabu (17/6/2020).
Ceritanya, kata Alita, bermula pada beberapa hari lalu ketika Ervina mengalami kontraksi dan sakit di perutnya.
Ervina yang merupakan peserta BPJS penerima bantuan iuran (PBI) dan rutin melakukan pemeriksaan di puskesmas memutuskan operasi kehamilan ke sebuah rumah sakit swasta.
"Ia harus segera dioperasi karena punya riwayat diabetes mellitus dan bayinya cukup besar sehingga riskan melalui persalinan normal," kata Alita.
Namun, menurut Alita, Ervina ditolak dengan alasan RS tidak memiliki alat operasi kelahiran lengkap dan alat uji tes virus corona.