Alex Au, dari organisasi nirlaba Transient Workers Count Too (TWC2), mengatakan kepada BBC bahwa kadang-kadang ada sebanyak 17 orang di sebuah ruangan.
"Aturan pemerintah adalah 4,5 m² ruang lantai per orang, rata-rata di semua ruang hidup termasuk dapur dan lain-lain. Bahkan jika asrama yang dibangun dengan tujuan khusus mematuhi ini, sangat sempit," kata Catherine James dari Organisasi Kemanusiaan untuk Migrasi Ekonomi (HOME) kepada BBC.
"Menjaga mereka dalam kondisi hidup seperti itu menciptakan kerentanan sistemik yang menunggu untuk meledak. Tidak hanya selama pandemi tetapi bahkan dengan wabah penyakit skala kecil seperti tuberkulosis."
Sebelumnya, sebuah laporan pernah mengatakan mereka hidup dengan cara yang tidak sehat.
Sejak saat itu pemerintah mengatakan bahwa kebersihan dan sanitasi beberapa asrama yang ditetapkan sebagai daerah terpencil telah "sangat ditingkatkan".
Pihak berwenang juga mengatakan telah menaruh perhatian besar pada kesejahteraan pekerja asing.
Buktinya, mereka tetap membayar gaji karyawan yang dikarantina.
Singapura mengatakan awal minggu ini bahwa sekitar 5.000 pekerja akan diuji minggu ini, termasuk mereka yang tidak menunjukkan gejala tetapi merupakan kontak dekat dari kasus yang dikonfirmasi.
Kementerian Kesehatan mengatakan peningkatan angka ini "sejalan dengan upaya berkelanjutan kami untuk secara aktif menguji dan mengisolasi pekerja yang terinfeksi".
Namun, Mr Au dari TWC mengatakan langkah-langkah pengujian saat ini tidak mencukupi, merujuk pada satu insiden di mana 16 teman sekamar dari satu pekerja yang terinfeksi tidak segera diuji untuk virus, tetapi malah diisolasi di kamar mereka.
"Mereka menunggu gejala muncul sebelum mereka menguji. Itu tampaknya reaktif, bukan proaktif," kata Au.
Dia menambahkan beberapa pekerja mengatakan mereka merasa ditinggalkan.
"Mereka mulai memiliki perasaan bahwa mereka hanya disimpan di sana dan menunggu untuk terinfeksi virus," katanya.