"Namun sebaliknya, tanpa menerapkan hukuman mati pun, negara-negara seperti di kawasan Australia dan Eropa tersebut terbukti dapat berhasil terbebas dari masalah korupsi," katanya.
Ia juga menyebut, penerapan hukuman mati dalam tindak pidana korupsi akan menjadi kontraproduktif.
Khususnya dalam konteks penindakan dengan metode ekstradisi pelaku tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri.
Sedangkan anggota Komisi III dari Fraksi PKS Nasir Djamil mengingatkan Presiden Joko Widodo tak boleh keliru dalam menyampaikan hukuman mati bagi terpidana korupsi.
Ia mengatakan, hukuman mati bagi terpidana korupsi sudah tercantum dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
"Sebenarnya hukuman mati bagi koruptor itu sudah diatur juga dalam UU tindak pidana korupsi,”
“jadi tidak harus kemudian apa kalau dikehendaki oleh masyarakat.”
“Pak Jokowi menurut saya keliru, kalau mengatakan hukuman mati itu berdasarkan kehendak masyarakat," kata Nasir di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Baca: Menteri BUMN Erick Thohir Bakal Rombak Jajaran Direksi Garuda Indonesia, Sebut Ini Mandat Jokowi
Nasir mangatakan, UU Tipikor mencantumkan hukuman mati bagi koruptor dalam dua kriteria.
Yaitu dalam keadaan krisis ekonomi dan bencana alam.
"Misalnya melakukan korupsi di dua kondisi itu, maka UU mengatakan bahwa dia layak dihukum mati," ujar dia.
Berdasarkan hal itu, Nasir mengatakan, Presiden tidak perlu membuat retorika dalam komitmen pemberantasan korupsi.
Presiden Jokowi, kata dia, sebaiknya mengoreksi keputusan yang dibuat dalam memberikan grasi terhadap terpidana korupsi Annas Maamun.
"Pesiden jangan hanya retorika saja ya, jangan mengatakan terkait hukuman mati, tetapi (perlu) mengoreksi terkait dengan pemberian grasi terhadap terpidana korupsi dan lainnya.”
“Kita harap Presiden bicara soal korupsi tetap konsisten," pungkasnya.