Setelah penghormatan terakhir, Hok Gie dan Idhan dikubur di TPU Menteng Pulo, Jakarta.
Setahun kemudian jasad Hok Gie dipindah ke TPU Tanah Abang karena ibunya sering dipalak preman.
Pada 1975, sebagain lahan makam dibangun Kantor Wali Kota Jakarta Pusat sehingga keluarga memutuskan mengkremasi jasad Hok Gie.
Abunya disebar di tempat favoritnya, Lembah Mandalawangi, Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat.
"Kami tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau mengenal obyeknya," kata Hok Gie kepada beberapa pengusaha yang membantunya saat akan mendaki Gunung Slamet seperti dikutip dari buku 'Soe Hok Gie Zaman Peralihan' terbitan Penerbit Buku Populer Gagas Media.
"Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat, karena itulah kami naik gunung," ungkapnya.
Semasa hidupnya, Soe Hok Gie juga pernah menuliskan kalimat yang sangat tersohor sampai sekarang.
“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda,” tulis Soe Hok Gie dalam buku hariannya yang kemudian diterbitkan dalam buku 'Catatan Seorang Demonstran'.