Soe Hok Gie adalah seorang aktivis sekaligus penulis yang mendirikan Mapala UI, mapala pertama di Indonesia.
Sayangnya, Soe Hok Gie meninggal di usia yang relatif muda pada 16 Desember 1969, hanya beberapa jam sebelum ulang tahunnya yang ke-27.
Soe Hok Gie meninggal di puncak Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa karena menghirup gas beracun.
Dikutip dari Kompas.com, Minggu (22/9/2019), kisah duka itu bermula pada 12 Desember 1969 ketika Soe Hok Gie berangkat ke Gunung Semeru.
Bersama Soe Hok Gie, ikut juga beberapa temannya seperti Aristides, Herman Onesimus Lantang, Abdurrachman, Anton Wijana, Rudy Badil, Idhan Lubis serta Freddy Lasut.
Baca: Soe Hok Gie
Dari Stasiun Gambir, mereka berangkat pukul 07.00 WIB menuju Stasiun Gubeng Surabaya.
Bagi Soe Hok Gie, pendakian kali ini merupakan pendakian yang istimewa, pasalnya pada 17 Desember ia akan merayakan ulang tahun yang ke-27.
Dalam buku Seri Buku Tempo 'Gie dan Surat Surat yang Tersembunyi' terbitan Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Tempo Publishing dijelaskan runut pendakian Gie di Gunung Semeru yang berujung petaka.
Tim berbekal buku terbitan Belanda tahun 1930 tentang panduan naik Semeru.
Mereka menggunakan jalur yang tak umum.
Jika biasanya penduduk mendaki melalui Desa Ranupani yang landai, tim mendaki lewat Kali Amprong mengikuti pematang Gunung Ayek Ayek, sampai turun ke arah Oro Oro Ombo.
Baca: Kebakaran di Jalur Pendakian Gunung Semeru, Pendaki Dibatasi hingga Ranupali
Tiba di Oro Oro Ombo, tim mendirikan kemah.
Di sini rekan Hok Gie, Aristides bermimpi buruk.
Ia mimpi terjadi kecelakaan di gunung dan melihat tiga mayat.
Kisah mimpinya ia simpan rapat agar kawan pendakiannya tak menjadi kecut.
Melanjutkan perjalanan dari Oro Oro Ombo, Aristides memimpin dengan berjalan di depan.
Pandangan jalan terutup kabut.
Hok Gie mengambil alih komando, di tengah perjalanan Hok Gie tampak termenung.
"Saya tanya kenapa dia bilang, 'Saya takut'," kata Aristides.
Baca: Dandhy Laksono Nilai Keterbukaan Informasi adalah Langkah Awal Selesaikan Konflik di Papua
Perjalanan terus dilanjutkan, di Recopodo mereka membentangkan ponco untuk jadi tempat perlindungan, meninggalkan tas dan tenda.
Mereka membawa minuman untuk bekal menuju puncak.
Rombongan dibagi menjadi dua kelompok.
Aristides, Hok Gie, Rudy Badil, Maman, Wiwiek dan Freddy, sedangkan Herman bersama Idhan.
Sampai di Puncak Mahameru jelang sore, tenaga mereka sudah habis.
Hok Gie menunggu Herman yang tertinggal di belakang.
Tiba-tiba rekan satu lagi Maman, mulai meracau.
Akhirnya Aristides dan Freddy bahu membahu membawa Maman kembali ke shelter.
Baca: Budiman Sudjatmiko Nilai Jika Referendum Dipaksakan, Indonesia akan Hadapi Balkanisasi
Sebelum Badil turun, Hok Gie menitipkan batu dan daun cemara untuk diberikan kepada teman-teman perempuan yang dekat dengannya.
Ia juga menitipkan kamera Aristides.
Herman dan Idhan akhirnya tiba di Puncak Mahameru.
Sesampainya di sana, Hok Gie sedang dalam kondisi duduk dan kemudian Idham ikut duduk, tetapi Herman tetap berdiri.
Karena duduk itu, menurut Herman, Hok Gie dan Idhan menghirup gas beracun yang massanya lebih berat dari oksigen.
Herman bercerita kondisi Hok Gie sudah sangat lemas.
"Tahu-tahu dia enggak ngomong, menggelepar," jelas Herman.
Hok Gie meninggal di gunung tertinggi Pulau Jawa karena menghirup gas beracun, beberapa jam sebelum genap berusia 27 tahun.
Selang waktu singkat, Idhan meninggal menyusul Gie.
Evakuasi jenazah Gie dan Idhan dilakukan dengan proses yang terbilang panjang.
Pada 24 Desember, jenazah keduanya baru tiba di rumah masing-masing.
Kemudian disemayamkan di Fakultas Sastra UI Rawamangun.
Baca: Ingin Mendaki Gunung Lawu? Ini Tiga Jalur Resmi Pendakian Gunung Lawu
Setelah penghormatan terakhir, Hok Gie dan Idhan dikubur di TPU Menteng Pulo, Jakarta.
Setahun kemudian jasad Hok Gie dipindah ke TPU Tanah Abang karena ibunya sering dipalak preman.
Pada 1975, sebagain lahan makam dibangun Kantor Wali Kota Jakarta Pusat sehingga keluarga memutuskan mengkremasi jasad Hok Gie.
Abunya disebar di tempat favoritnya, Lembah Mandalawangi, Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat.
"Kami tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau mengenal obyeknya," kata Hok Gie kepada beberapa pengusaha yang membantunya saat akan mendaki Gunung Slamet seperti dikutip dari buku 'Soe Hok Gie Zaman Peralihan' terbitan Penerbit Buku Populer Gagas Media.
"Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat, karena itulah kami naik gunung," ungkapnya.
Semasa hidupnya, Soe Hok Gie juga pernah menuliskan kalimat yang sangat tersohor sampai sekarang.
“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda,” tulis Soe Hok Gie dalam buku hariannya yang kemudian diterbitkan dalam buku 'Catatan Seorang Demonstran'.