Jika RUU Pemasyarakatan Disahkan, Pemerintahan Diprediksi Akan Sangat Korup

Penulis: Widi Pradana Riswan Hermawan
Editor: Putradi Pamungkas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari dalam acara diskusi bertajuk Mencari Hakim Pelindung Hak Konstitusi, di Tjikini Lima, Jakarta Pusat, Senin (11/3/2019).

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai, jika DPR dan pemerintah benar-benar mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan), Indonesia bakal menjadi negara yang sangat korup.

Hal tersebut karena adanya sejumlah pasal dalam RUU tersebut yang memudahkan pembebasan bersyarat para koruptor.

Terlebih di saat bersamaan DPR juga mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK hasil revisi.

Dikutip dari Kompas.com, Jumat (20/9/2019), Feri Amsari pun memprediksi praktik korupsi di Indonesia akan menjadi sangat sulit untuk diberantas.

"Ini paket yang ditunggu-tunggu para koruptor, karena semuanya tersusun rapi dari yang mau koruptor," kata Feri seperti dilansir Kompas.com, Jumat (20/9/2019).

"Dan bukan tidak mungkin proses penyelenggaraan pemerintahan akan sangat korup karena paket-paket Undang-undang ini," sambungnya.

Baca: Ditetapkan Jadi DPO oleh Polda Jatim, Veronica Koman Sudah Buka Komunikasi dengan KBRI Australia

Salah satu poin RUU Pemasyarakatan mengatur tentang pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, salah satunya kasus korupsi.

Dalam Pasal 12 ayat (2) UU Pemasyarakatan sebelum revisi, ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Sementara PP Nomor 99 Tahun 2012 memperketat pemberian hak remisi dan pembebasan bersyarat, yakni jika seorang narapidana kasus korupsi menjadi justice collaborator serta mendapat rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam draf UU Pemasyarakatan yang sudah direvisi, tidak lagi terdapat ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Baca: RKUHP : Jokowi Sebut Ada 14 Pasal Bermasalah, Menhumkan Diminta Jaring Masukan Berbagai Kalangan

Sementara itu, dalam RUU KPK hasil revisi yang disahkan Selasa (17/9/2019), ada ketentuan pembentukan Dewan Pengawas yang salah satu tugasnya memberi izin penyidikan kepada KPK.

Selain itu, RUU hasil revisi juga memberi kewenangan SP3 jika penyidikan dan penyelidikan KPK tak selesai dalam dua tahun.

Menurut Feri, kedua Undang-Undang ini memperingan hukuman koruptor, sekaligus melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

"Dulu awalnya cerita remisi itu ketat, sekarang kemudian menjadi sangat-sangat longggar. Dulu ceritanya bahwa proses pemidanaan koruptor menjadi sangat kuat, ini KPKnya diperlemah," ujarnya.

Lebih lanjut, Feri menyebut, dikebutnya pengesahan kedua Undang-Undang itu menunjukkan adanya ketakutan terhadap upaya pemberantasan korupsi dari pemerintah maupun DPR.

"Ada ketakutan besar dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama pada KPK, hukuman yang dikenakan pada koruptor, dan proses pemasyarakatan yang mereka harus jalani," katanya.

Baca: RKUHP : Gelandangan Didenda Rp 1 Juta, Dewan Pers Ogah Diatur, Delik Komunisme Dipertanyakan

Pemerintah dinilai otoriter

Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Ferry Amsari (Fabian Januarius Kuwado)

Feri Amsari menilai juga dikebutnya rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan RUU Pemasyarakatan menunjukan keotoriteran pemerintah dan DPR.

Sebab, meskipun RUU tersebut menuai banyak penolakan, pembahasannya tetap dilakukan.

Bahkan, ditargetkan selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir awal Oktober ini.

Halaman
123


Penulis: Widi Pradana Riswan Hermawan
Editor: Putradi Pamungkas

Berita Populer