Misalnya sajak Raja Naik Mahkota Kecil yang dia tulis pada 23 Juni 1962 untuk menyindir pangangkatan Letnan Jenderal Ahmad Yani sebagai KSAD menggantikan AH NAsution.
Udara hari ini cerah benar pemuda nyanyi nasakom bersatu gelak ketawa gadis remaja mendengar si lalim naik takhta tapi konon mahkotanya kecil
Ayo, maju terus kawankawan
Halau dia ke jaring dan jerat
tangkap dia dan ikat erat
hadapkan dia ke mahkamah rakyat!
Soal sastra, pada 1964 DN Aidit juga pernah menuliskan pemikirannya.
Menurutnya, sastra harus bertanggung jawab, berkepribadian nasional, serta mengabdi kepada buruh dan rakyat.
Kredo ini menjadi semacam tren yang dianut para penulis berhaluan kiri.
Amarzan, sebagai redaktur HR Minggu, secara pribadi menganggap puisi tak selalu harus begitu.
Ia sendiri, sebagai penyair, bisa saja menulis puisi tentang cinta, kebimbangan, bulan, dan laut.
Baca: G30S 1965 - Pembantaian Anggota PKI di Solo dan Sukoharjo
Selain Amarzan, Oey Hay Djoen, bekas anggota parlemen dan Dewan Pakar Ekonomi PKI, juga bersaksi atas payahnya sajak-sajak DN Aidit.
Hay Djoen yang juga kerap menulis prosa-prosa memikat dengan nama samara Ira Iramanto atau Samandjaja sering mendapat puisi dari Aidit untuk dia komentari.
Namun dia tidak pernah menggubrisnya.
“Buat apa? Jelek,” katanya.
Sobron Aidit, adik DN Aidit mengatakan bahwa sang kakak merupakan pengagum sajak-sajak Chairil Anwar.
“Chairil itu, kalau masih hidup, pasti berpihak pada PKI, meski tak mau jadi PKI,” bual DN Aidit kepada sang adik pada suatu hari.
Selain DN Aidit, para pemimpin partai komunis lain di Asia seperti Mao Zedong dan Ho Chi Minh juga kerap menulis sajak.
Baca: G30S 1965 - Pengakuan Algojo: Burhan Zainuddin Rusjiman
Saat kabar DN Aidit meninggal tersebar, pada 23 November 1965, Mao Zedong sempat menulis sajak belasungkawa yang dimuat di sebuah korang Tiongkok.
Terjemahan sajak itu kurang lebih seperti berikut.
Di jendela dingin berdiri reranting jarang beraneka bunga di depan semarak riang apa hendak dikata kegembiraan tiada bertahan lama di musim semi malah jatuh berguguran.
Sumber: Sebagian besar informasi dalam artikel ini diambil dari Buku Tempo, “Aidit, Dua Wajah Dipa Nusantara”.