Kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun bisa dibilang berhasil membangun stigma di tengah masyarakat bahwa PKI adalah satu-satunya dalang tragedi berdarah G30S 1965.
Meski sampai sekarang, ada berbagai versi tenang siapa dalang peristiwa kelam itu sebenarnya.
Namun masyarakat sudah keburu memakan propaganda orba, sehingga PKI selalu dipandang dengan penuh kengerian.
Dipa Nusantara Aidit (DN Aidit), sang pimpinan PKI tentu tidak lepas juga dari kengerian partainya.
Nama DN Aidit tidak bisa dilepaskan dari PKI.
Namun siapa sangka, DN Aidit yang dikenal dengan segala kengeriannya ternyata suka bersajak.
Meskipun, untuk ukuran karya sastra, sajak-sajak dan puisi DN Aidit tidak bisa dibilang bagus, bahkan bisa dikatakan payah.
Seperti dimuat oleh buku Tempo, “Dua Wajah Dipa Nusantara”, puisi-puisi yang ditulis DN Aidit hampir seluruhnya berisi puji-pujian kepada partai atau ajakan revolusi, bahkan dalam puisi-puisi yang sifatnya sangat personal.
Baca: Ciuman Terakhir DN Aidit di Kening sang Istri pada Malam G30S
DN Aidit banyak menulis puisi di rentang 1946 sampai 1965.
Harian Rakjat Minggu (HR Minggu) adalah salah satu media yang kerap memuat puisi-puisi DN Aidit.
Wajar, sebab HR Minggu merupakan harian yang berada di bawah kekuasaan PKI.
Amarzan, yang pernah menjadi redaktur HR Minggu menceritakan betapa payahnya sajak-sajak sang ketuanya itu.
Saat itu, pada Sabtu Malam, Amarzan yang bertugas menyeleksi puisi-puisi yang akan terbit di HR Minggu mendapat telepon dari DN Aidit.
DN Aidit menanyakan tentang sajak-sajak yang dia kirimkan.
"Apakah sajak-sajak saya sudah diterima?" terdengar suara DN Aidit di seberang telepon.
"Sudah."
"Jadi, dimuat dalam edisi besok?"
Setelah berpikir sejenak, Amarzan menjawab, "Tidak."
"Maksudnya?"