Berkat dukungan mayoritas kader PDI, Megawati sukses merebut tampuk kekuasaan dari Soerjadi.
Pasca terpilih sebagai ketua umum, Megawati berkeliling Indonesia untuk konsolidasi dan menemui rakyat.
Ketidaksukaan pemerintah Orde Baru akan popularitas Megawati justru membuat Megawati makin dicintai.
Ia adalah simbol perlawanan terhadap tekanan Orde Baru, namanya bahkan sempat diusulkan sebagai calon presiden.
Pemerintah Orde Baru yang mengendus ancaman ini segera merancang skenario untuk menggembosi kekuatan Megawati.
Pada 1996, Kongres PDI digelar di Medan, Soerjadi digunakan pemerintah untuk mendongkel Megawati.
Soerjadi mengklaim kemenangan.
Menteri Dalam Negeri saat itu, Yogie S Memed, dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung hadir memberi restu.
Megawati sendiri dan pendukungnya tak hadir dalam kongres.
Di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia, unjuk rasa digelar memprotes PDI versi Soerjadi yang dibekingi pemerintah.
Dukungan untuk Mega mengalir deras.
Selain aksi unjuk rasa, PDI kubu Megawati juga melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Bambang Widjojanto menjadi pembela Megawati di pengadilan.
Megawati juga menggerakkan mimbar bebas bak dukungan bagi Corazon Aquino ketika rezim Ferdinand Marcos berkuasa di Filipina.
Di DPP PDI di Jalan Diponegoro, mimbar bebas digelar setiap hari.
Sejarawan Peter Kasenda dalam bukunya Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat (2018) mencatat mimbar tersebut tak disukai ABRI dan polisi.
Pangab Jenderal Feisal Tanjung bahkan menuduh mimbar tersebut sebagai makar.
Tuduhan itu segera dibalas Megawati dengan mengatakan, mimbar digelar untuk menyalurkan suara rakyat yang terinjak-injak.
Ia mengaku kegiatannya tak ditutup-tutupi dan tak ada agenda makar.
Menurutnya, jika memang ada agenda makar tentu sudah dilakukan, ia mengatakan hanya ingin menjaga harga diri warga yang porak poranda dengan adanya Kongres di Medan.