TRIBUNNEWSWIKI.COM - Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996 adalah salah satu sejarah kelam dalam perjalanan politik di Indonesia.
Kudatuli adalah akronim dari Kerusuhan dua puluh tujuh Juli.
Insiden Kudatuli ini yang merenggut nyawa 5 orang dan menyebabkan 149 orang luka-luka juga 23 orang dinyatakan hilang.
Kudatuli terjadi di Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat, seperti dilansir Kompas.
Lantas apa itu Kudatuli sebenarnya ?
Peristiwa Kudatuli atau Peristiwa 27 Juli merupakan peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai oleh kubu Megawati Soekarnoputri.
Nama Peristiwa Kudatuli diambil dari akronim “Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli”.
Peristiwa Kudatuli merupakan buntut dualisme kepemimpinan di tubuh PDI.
Baca: Profil Cinta Mega, Politikus PDIP yang Dipecat dari DPRD setelah Diduga Bermain Judi Slot
Baca: PROFIL Guruh Soekarnoputra, Adik Kandung Megawati Sekaligus Anak Soekarno yang Kini Rumahnya Disita
Saat itu, penyerbuan dilakukan oleh sejumlah massa pendukung Soerjadi yang merupakan Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan sekaligus yang disokong oleh Orde Baru.
Sementara Megawati Soekarnoputri adalah Ketua Umum PDI hasil kongres Surabaya untuk periode 1993-1998.
Sebelum meletusnya tragedi berdarah Peristiwa Kudatuli, di dalam tubuh PDI memang sudah ada konflik internal.
Hal ini bermula dari bergabungnya Megawati Soekarnoputri dengan PDI pada 1987 yang membuat banyak pihak menjadi resah, terutama pemerintah Orde Baru.
Sebab saat itu keluarga Soekarno tengah menjadi korban ambisi Soeharto.
Upaya de-Soekarnoisasi pun dilakukan dengan membatasi pergerakan putera-puteri Soekarno, terutama dalam pentas politik.
Saat itu, hanya ada tiga partai politik, Golkar, PPP, dan PDI yang selalu memperoleh suara paling buncit.
Ketua Umum PDI saat itu, Soerjadi kemudian menjadikan Megawati dan adiknya, Guruh Soekarnoputra sebagai pendulang suara bagi mereka yang merindukan sosok Soekarno.
Megawati kemudian menjadi anggota DPR dari PDI, siapa sangka kariernya justru melejit.
Suara PDI juga melejit pada Pemilu 1987 dan 1992, sehingga membuat penguasa menjadi resah.
Begitu juga dengan Ketua Umum PDIP, Soerjadi yang ketokohannya mulai tersaingi oleh Megawati.
Meski beberapa kali dijegal, Megawati akhirnya berhasil menjadi orang nomor satu di PDI setelah Kongres PDI di Surabaya pada 1993 memilihnya sebagai ketua umum.