Kritik Pernyataan Menaker Ida Fauziyah, Serikat Buruh: Pekerja Kontrak Terus-menerus Jelas Tak Baik

Oleh serikat buruh, pernyataan Menaker Ida Fauziyah dinilai sebagai upaya narasi pemerintah melakukan pembenaran untuk Omnibus Law Cipta Kerja.


zoom-inlihat foto
massa-aksi-buruh-konfederasi-serikat-buruh-seluruh-indonesia-ksbsi-546.jpg
Tribun Jakarta / Muhammad Rizky Hidayat
Massa aksi buruh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) berunjuk rasa di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pukul 11.30 WIB, Senin (12/10/2020).


TRIBUNNEWSWIKI.COM - Di berbagai daerah di Indonesia, ribuan mahasiswa dan buruh/pekerja turun melakukan aksi ke jalanan untuk menolak disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja dan mendesak pemerintah mengeluarkan Perppu.

Mayoritas dari suara buruh/pekerja dan mahasiswa yang melakukan demonstrasi yakni mencecar keputusan Paripurna DPR RI yang mengesahkan Omnibus Law dengan sangat terburu-buru dan minim dialektika yang komprehensif dengan banyak elemen masyarakat.

Seperti diketagui, Omnibus Law ini diajukan oleh Pemerintah Jokowi ke DPR untuk dibahas rancangannya dan mulai dikebut sejak Februari 2020 lalu.

Demonstrasi meluas di beberapa daerah di Indonesia.

Banyak pasal dalam Omnibus Law terkhusus klaster ketenagakerjaan yang dianggap kontroversial dan bisa merugikan pekerja/buruh/karyawan atau siapapun mereka yang bekerja dengan orang lain.

Hal yang membuat publik marag dengan Omnibus Law Cipta Kerja misalnya tentang dihapuskannya UMK yang direncanakan diganti menjadi upah per jam, penghapusan libur 2 kali seminggu, pengurangan pesangon, tidak ada ketentuan tentang pegawai tetap dan lain-lain.

Banyak pakar hukum, akademi kampus, LSM, NU, Muhammadiyah hingga lembaga-lembaga lain yang dengan tegas menyatakan menolak diterapkannya Omnibus Law karena potensi merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia dinilai sangat besar.

Namun, kengotototan Pemerintah Jokowi dan DPR RI untuk segera mengesahkan Omnibus Law (tak hanya terkait Cipta Kerja) ini lah yang memantik amarah publik hingga turun ke jalanan.

Baca: Hari Ini Mahasiswa Kembali Berunjuk Rasa Menolak UU Cipta Kerja, Polisi Terjunkan 6.000 Personel

Belum lagi narasi yang dibangun kubu pemerintah dengan menyatakan Omnibus Law menguntungkan buruh/pekerja/karyawan meski demonstrasi besar-besaran terus terjadi di Indonesia.

Terbaru, Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Jumisih mengkritik pernyataan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah yang mengklaim pekerja kontrak akan mendapatkan keuntungan dalam UU Cipta Kerja.

Massa berusaha mundur saat polisi menembakan gas air mata dalam aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (7/10/2020). Para demonstran menolak Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang baru disahkan oleh DPR RI. Dalam aksinya, mereka sempat berusaha masuk Gedung DPRD Jabar dengan mendobrak pintu gerbang namun usahanya gagal.
Massa berusaha mundur saat polisi menembakan gas air mata dalam aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (7/10/2020). Para demonstran menolak Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang baru disahkan oleh DPR RI. Dalam aksinya, mereka sempat berusaha masuk Gedung DPRD Jabar dengan mendobrak pintu gerbang namun usahanya gagal. (Tribun Jabar/Gani Kurniawan)

"Bagi saya itu pembenaran, bagaimana mungkin menteri memberikan narasi, bahwa buruh kontrak secara terus-menerus kondisinya itu lebih baik, ya jelas tidak," tegas Jumisih melansir dari Kompas.com, Selasa (20/10/2020).

Dalam praktiknya, kata Jumisih, pilihan yang terbaik di dalam sistem ketenagakerjaan Indonesia adalah penerapan pekerja tetap atau karyawan tetap.

Artinya, kata dia, selama ini banyak kerugian yang dialami pekerja selama sistem kontrak tak dihapuskan.

Baca: Berkat UU Cipta Kerja, WNA Boleh Punya Apartemen di Indonesia

Kerugian itu, misalnya, terabaikannya perlindungan dan hak-hak buruh.

Untuk itu, tegas dia, pemerintah seharusnya mengeluarkan aturan yang menjadikan semua buruh sebagai pekerja tetap, bukan justru melanggengkan pekerja kontrak seumur hidup.

"Ini sungguh pernyataan yang aneh, kalau mau melindungi pekerja jangan tanggung-tanggung, pastikan seluruh buruh di Indonesia menjadi pekerja tetap, itu baru kita nyatakan perlindungan," tegas dia.

"Jadi pasal terkait PKWT itu tidak berpihak kepada kita dan kami tidak setuju terhadap itu," terang Jumisih.

Pernyataan Menaker terkait Omnibus Law

 Pemerintah dan Dewa Perwakilan Rakyat (DPR) mengubah skema kontrak kerja dalam UU Cipta Kerja.

Dalam Omnibus Law Cipta Kerja, Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 dihapus.

Pasal tersebut mengatur batasan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Dilansir oleh Kompas.com, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyebutkan ada sejumlah keuntungan yang bakal didapatkan oleh pegawai kontrak dalam UU Cipta Kerja.

Baca: Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf: Pasal Pendidikan di UU Ciptaker Bentuk Liberalisasi Pendidikan

Terutama, terutama terkait perlindungan pekerja saat menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menurut Ida Fauziyah yang berasal dari PKB ini, pekerja dengan status kontrak akan mendapatkan kompensasi jika terkena PHK.

Dalam aturan lama di UU Ketenagakerjaan, kompensasi hanya diberikan untuk pekerja yang berstatus karyawan tetap lewat skema pesangon.

"Oh, ada (keuntungan pekerja kontrak di UU Cipta Kerja). Dulu, PKWT itu tidak ada kompensasi kalau berakhir masa kerjanya. Sekarang, kalau kontrak berakhir, dia mendapat kompensasi," ungkap Ida dikutip dari Harian Kompas, Senin (19/20/2020).

Dengan adanya ketentuan tersebut, menurut Ida, perusahaan akan berpikir dua kali untuk memberhentikan para karyawan kontrak.

Menteri Ketenagakerjaan RI, Ida Fauziah saat diwawancarai secara khusus oleh Tribunnews di Kantor Kemnaker RI, Jakarta Selatan, Rabu (4/3/2020). Wawancara tersebut terkait sejumlah isu yang berkembang seperti RUU Omnimbus Law dan pekerja migran Indonesia.
Menteri Ketenagakerjaan RI, Ida Fauziah saat diwawancarai secara khusus oleh Tribunnews di Kantor Kemnaker RI, Jakarta Selatan, Rabu (4/3/2020). Wawancara tersebut terkait sejumlah isu yang berkembang seperti RUU Omnimbus Law dan pekerja migran Indonesia. (Tribunnews/Herudin)

Selama ini banyak kasus perusahaan memecat pekerja kontrak kapan saja, baik karena alasan efisiensi maupun kinerja karyawan yang tak sesuai harapan.

Menurut Ida, dengan adanya kompensasi di UU Cipta Kerja bagi pekerja yang berstatus kontrak PKWT, secara tidak lansung karyawan atau buruh akan mendapatkan perlindungan lebih besar dari negara.

"Pengusaha akhirnya berpikir, mau saya kontrak terus-terusan pun, tetap saja saya harus bayar pesangon. Ini sebenarnya bentuk perlindungan yang tidak kita atur di UU sebelumnya," ucap Ida.

"Pada prinsipnya, RUU ini ingin melindungi semua pekerja. Kelompok pekerja yang eksis, kelompok pencari kerja, dan kelompok pekerja pada sektor UMKM," imbuh dia.

Baca: Tak Takut Tekanan dari Pusat, Bupati Bogor Dukung Buruh Sampaikan Aspirasi Menolak UU Cipta Kerja

Ia melanjutkan, setelah diberlakukannya UU Cipta Kerja, otomatis hak karyawan kontrak dengan pekerja yang sudah berstatus karyawan tetap akan sama jika menjadi korban PHK.

"UU Ketenagakerjaan sekarang sudah memberi proteksi yang besar dan proteksi itu diadopsi di RUU Cipta Kerja. Contohnya, di UU Ketenagakerjaan tidak ada perlindungan bagi pekerja PKWT," ujarnya.

"Di RUU ini, perlindungan sosial harus tetap diberikan kepada pekerja PKWT ataupun PKWTT (perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu). Jadi, mereka punya hak dasar yang sama dengan pekerja tetap untuk mendapatkan jaminan sosial, pengaturan uang lembur, dan jam kerja yang sama," kata dia lagi.

Ida lalu menjelaskan soal batasan kontrak PKWT yang dihapus di UU Cipta Kerja.

Pemerintah beralasan dihapuskannya Pasal 59 yang mengatur batas waktu karena UU Cipta Kerja menganut fleksibilitas.

Hal itu juga sudah lazim diterapkan di negara lain.  

"Kita belajar dari beberapa negara. Jika hal itu diatur di undang-undang, tidak akan ada fleksibilitas pengaturan. Persoalan ini tidak sederhana ketika dinamika tenaga kerja tinggi," kata Ida.

Ia menuturkan, soal batas waktu PKWT pekerja kontrak masih akan dibahas lagi dalam aturan turunan.

 Aturan batasan waktu kontrak kerja hingga maksimal 3 tahun dinilai kurang fleksibel.

Aparat Kepolisian bersitegang dengan pendemo di kawasan Harmoni, Jakarta, Kamis (8/10/2020). Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja berlangsung ricuh.
Aparat Kepolisian bersitegang dengan pendemo di kawasan Harmoni, Jakarta, Kamis (8/10/2020). Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja berlangsung ricuh. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

"Kami sudah sepakat bersama teman-teman di forum tripartit (pemerintah, pengusaha, dan buruh), hal ini akan dibicarakan dalam perumusan peraturan pemerintah (PP). Jadi, tidak diisi sendiri oleh pemerintah," ujar dia.

Sebagai informasi, dalam pasal UU Nomor 13 Tahun 2003 yang direvisi UU Cipta Kerja, secara eksplisit mengatur PKWT.

PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha atau perusahaan untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk jenis pekerjaan tertentu.

Dalam perjanjian PKWT juga mengatur kedudukan atau jabatan, gaji atau upah pekerja, tunjangan serta fasilitas apa yang didapat pekerja dan hal-hal lain yang bersifat mengatur hubungan kerja secara pribadi.

Perusahaan hanya bisa melakukan kontrak kerja perjanjian PKWT paling lama 3 tahun.

Setelah itu, perusahaan diwajibkan untuk mengangkat pekerja atau buruh sebagai karyawan tetap jika ingin mempekerjakannya setelah lewat masa 3 tahun.

(Tribunnewswiki.com/Ris)

Sebagian artikel tayang di Kompas.com judul Konfederasi Persatuan Buruh Kritik Klaim Menaker soal Pekerja Kontrak





Penulis: Haris Chaebar
BERITATERKAIT
Ikuti kami di
KOMENTAR

ARTIKEL TERKINI

Artikel POPULER

© 2025 tribunnnewswiki.com,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved