Ia mengungsi lantaran rumahnya dibom dan sebagian besar keluarganya tewas.
"Saya dan ibu selamat ... (sedangkan) ayah saya meninggal tidak lama setelah pemboman", katanya di pengadilan.
"Selandia Baru adalah tempat yang aman bagi saya," ungkapnya.
Kamran dan Sahabatnya
Sebagai informasi, setelah pindah ke Selandia Baru, Kamran masih menemui masalah besar dalam hidupnya.
Gempa tahun 2011 membuat hancur rumahnya.
Baca: Imam Masjid Al Noor, Gamal Fouda di Hadapan Terdakwa Brenton Tarrant: Kau itu Sesat dan Salah Arah
Namun, dirinya selamat dan harus tinggal di dalam mobilnya selama beberapa bulan.
Persahabatannya dengan sesama pengungsi Afghanistan, Matiullah Safi turut membantu hidupnya.
Menurut Kamran, sahabat adalah teman baik, seperti saudara sendiri.
"Kami bertemu setiap hari Jumat .. dia, (dan) di hari itu, mati syahid", ungkapnya.
Kamran mengaku mendengar tembakan dan melihat sahabatnya jatuh.
"Ketika saya lihat Matiullah tertembak, saya pergi ke pintu utama ... ada banyak tembakan di mana-mana ... saya sampai harus melompati orang tua," katanya.
Baca: Pengadilan Tinggi Gelar Persidangan Brenton Tarrant, Pelaku Penembakkan Masjid di Selandia Baru
Darah yang mengucur di kakinya yang terkena empat kali tembakan membuatnya terus berlari menyelamatkan diri.
"Ada banyak darah di kaki, saya sangat takut," ungkapnya, dilansir New Zealand Herald, Senin (24/8/2020).
Takut Masuk Masjid
Kamran mengaku dirinya trauma masuk masjid.
Ketakutannya hadir setiap saat, sepanjang waktu.
"Itu terlalu sulit untukku .. karena sahabatku ditembak mati didepanku," ungkapnya.
"Ada kenangan buruk di hari itu. Saya memakai tongkat (untuk berjalan) .. Masih ada ribuan pecahan peluru di tubuh saya," jelasnya.
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)