TRIBUNNEWSWIKI.COM - Selama beberapa dekade, China diakui sebagai satu di antara negara di dunia yang mengatur hukum hak-hak kaum minoritas.
Seperti misalnya ada kuota bagi warga etnis Uighur dan etnis minoritas lain agar bisa masuk perguruan tinggi, dan kuota pekerjaan di instansi pemerintah.
Kemudian adanya kelonggaran kontrol kelahiran sejak dihapuskannya kebijakan 'satu anak' pada 28 Oktober 2015, di mana seluruh warga China dapat memiliki hingga 2 anak.
Namun, hal ini berbeda praktiknya di lapangan, menurut investigasi Associated Press, kebijakan 'kontrol kelahiran' cenderung berat sebelah.
China pernah memasuki era anti-natalis, saat pihak berwenang China dilaporkan sering mendorong penggunaan alat kontrasepsi, sterilisasi, dan aborsi pada orang-orang China Han, sebagai etnis mayoritas, dan memberi izin bagi minoritas untuk memiliki dua hingga tiga anak.
Kebijakan ini hadir atas nama pembangunan ekonomi China yang saat itu begitu padat penduduknya.
Namun, semua berubah di bawah pimpinan Presiden Xi Jinping.
Di bawah pemimpin China yang oleh AP disebut 'paling otoriter' dalam beberapa dasawarsa terakhir, kebijakan anti-natalis ini mengalami perubahan.
Baca: Pengakuan Gulnar Omirzakh, Warga Muslim Uighur Korban Pemaksaan Aborsi Otoritas China
Pada 2014, setelah kunjungannya ke wilayah Xinjiang, Xi meminta para pejabat tinggi menerapkan 'kebijakan keluarga berencana yang adil' untuk semua etnis.
Xi meminta pejabat lokal untuk 'mengurangi dan menstabilkan angka kelahiran'.
Pada tahun-tahun setelahnya, bukan menjadi suatu masalah bagi warga China, baik itu etnis Han, maupun etnis minoritas lain di pedesaan yang memiliki dua-tiga anak di Xinjiang.
Semua etnis setara di bawah payung hukum baru.
Namun, dalam praktiknya, sebagian besar warga etnis Han terhindar dari aborsi, sterilisasi, pemasangan IUD, dan penahanan.
Sebaliknya, bagi etnis Uighur dan minoritas lain semua hal tadi mereka alami dengan pemaksaan, menurut data dan wawancara AP.
Seorang warga Uighur yang kabur ke Kazakhstan, Gulnar Omirzakh mengaku mendapat hukuman, meski tiga anaknya sah di mata hukum.
Akar Terorisme?
Para cendekiawan yang pro-pemerintah mengklaim bahwa keluarga-keluarga yang berasal dari kalangan agama di pedesaan merupakan akar dari terorisme, pemboman, penikaman, dan serangan lainnya.
Pemerintah Xinjiang menitikberatkan kejahatan tersebut dengan menuduh ada keterkaitan terhadap teroris ISIS.
Populasi warga Muslim di pedesaan mereka nilai sebagai arena berkembang biaknya kemiskinan dan ekstrimisme, menurut sebuah laporan makalah Kepala Institut Sosiologi di Akademi Ilmu Sosial, Xinjiang.
Tertulis juga klaim dalam laporan yang menyebut "hambatan utama agama adalah keyakinan bahwa 'janin adalah hadiah dari Tuhan',"
Sementara pakar dari luar menyebut operasi pengendalian kelahiran adalah bagian dari strategi China membersihkan warga Uighur dari keyakinan yang dianutnya.
Pemerintah China juga dinilai memaksa warga Uighur untuk mengikuti proses asimilasi. Mereka diharuskan mengikuti pendidikan politik dan agama di kamp-kamp dan pabrik-pabrik.
Sementara anak-anak mereka di-indoktrinasi di panti penampungan.
Orang-orang Uighur, yang tidak selalu Muslim ini, juga dilacak oleh aparat dengan pengawasan ketat menggunakan teknologi.
"Niatnya mungkin bukan sepenuhnya menghilangkan populasi Uighur, tetapi itu akan secara tajam mengurangi vitalitas mereka," kata Darren Byler, ahli yang membidangi etnis Uighur dari Universitas Colorado, Amerika Serikat.
"Ini akan membuat mereka lebih mudah berasimilasi dengan populasi mayoritas di China," tambahnya.
Sementara beberapa ahli lebih jauh mengatakan langkah yang diambil China telah melampaui unsur kemanusiaan.
"Ini genosida, (ada) penghentian penuh. Tak secara langsung, mengejutkan, pembunuhan massal yang masuk kategori genosida, pelan tapi menyakitkan," kata Joanne Smith Finley, ahli di Newcastle University, Inggris.
"Ini secara langsung mengurangi populasi masyarakat Uighur," tambahnya.
Berat Sebelah
Senada dengan investigasi AP, analisa Foreign Policy menyebut China mengadopsi sikap pro-natalis hanya untuk orang-orang China Han.
Meski telah melonggarkan kebijakan satu anak dan mengklaim 'adil untuk semua etnis', China telah memulai gelombang penindasan terhadap minoritas.
Banyak daerah urban dengan sangat sedikit minoritas (seperti Beijing, Shanghai, Shandong, dan Fujian) mengalami sedikit peningkatan angka kelahiran.
Sementara daerah dengan minoritas lebih banyak (seperti Tibet, Xinjiang, Qinghai, dan Yunnan) mengalami penurunan tajam di angka kelahiran. (Hong Kong, tidak ditampilkan dalam data ini).
Jika dulu kebijakan China adalah membatasi angka kelahiran untuk etnis Han atas nama pembangunan ekonomi, dan memberikan fleksibilitas bagi etnis minoritas, sekarang sikap kebijakan China adalah “Pro-natalisme untukku, tetapi tidak untukmu”, yang berarti dukungan pro-natalis hanya diberikan untuk orang-orang Han, tetapi tidak bagi kelompok minoritas.
Tujuh Tahun Penjara Akibat Punya Tujuh Anak
Abdushukur Umar, seorang pria warga Uighur menceritakan kisahnya mendapat hukuman otoritas China akibat memiliki banyak anak.
Mantan supir traktor ini dihukum tujuh tahun penjara lantaran memiliki tujuh anak.
Pria yang pernah menjadi penjual buah-buahan ini menganggap ketujuh anaknya sebagai rezeki dari Tuhan.
Alasan ini tak bisa diterima di bawah payung hukum China.
Pihak berwenang mulai mengejarnya sejak 2016 dan berhasil ditangkap.
Tahun 2017, ia dijebloskan ke kamp sebelum akhirnya dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara -satu untuk setiap anak, kata pihak berwenang kepada kerabatnya.
"Sepupu saya menghabiskan seluruh waktunya mengurus keluarga, ia tak pernah bergabung dalam gerakan politik apa pun," kata Zuhra Sultan, sepupu Umar kepada AP di tempat pengasingannya di Turki.
"Bisa-bisanya kamu dihukum tujuh tahun hanya karena punya banyak anak, kita sudah hidup di abad ke-21, ini benar-benar tak bisa dibayangkan," katanya.
Baca: Pengakuan Gulnar Omirzakh, Warga Muslim Uighur Korban Pemaksaan Aborsi Otoritas China
Setidaknya enam belas orang etnis Uighur dan Kazakhstan mengutarakan kesaksiannya kepada AP, bahwa orang-orang dipenjara akibat punya banyak anak.
Banyak yang dipenjara bertahun-tahun bahkan puluhan tahun di penjara, menurut sejumlah warga Uighur.
Data eksklusif yang diperolah AP menunjukkan dari 484 tahanan di Karakax, Xinjiang, 149 narapidana dijebloskan ke penjara karena memiliki banyak anak, sebuah alasan umum untuk menahan mereka.
Dipaksa Pasang IUD
Berbeda dari kisah Umar, seorang warga Uighur keturunan China-Kazakhstan menceritakan pengalamannya bagaimana otoritas China di Xinjiang memaksanya untuk menggunakan alat kontrasepsi beserta ancaman kurungan jika menolak.
Gulnar Omirzakh mengaku disuruh pejabat setempat memasang alat kontrasepsi dalam rahim (IUD), seperti dilasir dari Investigasi Associated Press yang dirilis Selasa (30/6/2020).
Omirzakh merupakan perempuan dari keluarga tak mampu yang merupakan istri dari seorang pedagang sayur.
Pada 2018, ia mengaku pernah didatangi empat orang pejabat yang mengenakan seragam militer.
Keempat pria ini mengetuk pintu rumahnya dan menjatuhkan denda $2685 atau sekitar 38,9 juta rupiah (kurs 2018).
Denda ini dijatuhkan lantaran ia memiliki lebih dari dua anak.
Baca: Bencana Banjir Hantam Provinsi Sichuan, China, 12 Orang Tewas, 10 Hilang
Baca: Aliansi Antar-Parlemen untuk China (IPAC) Minta PBB Selidiki Kasus Kejahatan terhadap Etnis Uighur
Jika tidak membayar, mereka mengancam akan mengurungnya dan akan bergabung dengan suami serta jutaan etnis minoritas lainnya yang dikurung di kamp-kamp pengasingan.
"Tuhan mewariskan anak-anak kepadamu. Mencegah orang memiliki anak adalah salah," kata Omirzakh, sambil menangis mengingat kejadian yang ia alami di masa lalu.
"Mereka ingin menghancurkan kita sebagai manusia," tambahnya.
Omirzakh merupakan satu di antara warga Muslim pedesaan yang 'cukup beruntung'.
Dirinya mengaku beruntung bisa membayar denda tersebut, .
Setelah ancaman kurungan penjara datang padanya, ia menelepon sejumlah kerabatnya.
Beberapa jam sebelum batas waktu yang ditentukan, ia telah mengumpulkan cukup banyak uang dari hasil penjualan sapi saudara perempuannya.
Ia juga meminjam uang dengan bunga yang tinggi untuk menggenapi tabungannya agar cukup untuk denda.
Pada tahun berikutnya, setelah denda terbayarkan, ia bersama sejumlah istri orang lain yang senasib mengikuti sebuah kelas pendidikan.
Ia bersama anaknya untuk sementara tinggal bersama dua orang pejabat partai setempat yang dikirim khusus untuk mengawasinya.
Ketika sang suami pada akhirnya dibebaskan, mereka melarikan diri ke Kazakhstan dengan hanya membawa beberapa ikat selimut dan pakaian.
Di tempat tinggalnya sekarang, alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) masih berada di rahimnya dan telah menyatu dengan daging.
Ini menyebabkan peradangan yang sakitnya menusuk hingga ke punggung.
"Seperti ditusuk dengan pisau," akui Omirzakh.
Menurutnya, hanya sakit yang ia rasakan saat harus mengingat apa yang ia alami dulu.
"Orang-orang di sana sekarang takut melahirkan," katanya.
"Ketika aku memikirkan kata 'Xinjiang', aku masih merasa takut sampai saat ini," tukasnya kepada Associated Press..
Investigasi Ungkap China Paksa Aborsi Warga Uighur
Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan otoritas China memaksa perempuan menggunakan alat kontrasepsi di Xinjiang sebagai upaya pengurangan populasi masyarakat muslim Uighur.
Usaha sistematis 'sterilisasi perempuan', menurut laporan Adrian Zenz, antropolog Jerman yang risetnya fokus pada persoalan kamp di Xinjiang, juga menyebut China memaksa warga Uighur untuk aborsi.
Penelitian Adrian mendorong munculnya seruan internasional di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar dilakukan penyelidikan.
Adapun China membantah tuduhan tersebut dalam sebuah pernyataan.
China menyebut apa yang dituduhkan adalah hal yang tidak berdasar.
Baca: UU tentang Uighur Diteken oleh Donald Trump, Reaksi China: Kami Akan Ambil Tindakan Balasan
Sebagai informasi, China sedang dihadapkan pada kritik luas lantaran dinilai menahan warga Uighur di kamp-kamp penampungan.
Diwartakan BBC, setidaknya terdapat satu juta masyarakat Uighur dan minoritas muslim lainnya yang ditahan di China, Senin (29/6/2020).
Oleh otoritas China, kamp tempat warga Uighur ditahan merupakan kamp 'pendidikan ulang'.
Sebelumnya Tiongkok sempat menyangkal adanya kamp-kamp ini, sebelum kemudian menyebut kamp ini sebagai pertahanan melawan terorisme.
Otoritas mengklaim langkah ini dilakukan buntut dari kekerasan separatis di wilayah Xinjiang.
Baca: Amerika Serikat Putuskan Blacklist Puluhan Perusahaan China Pasca Terlibat Diskriminasi Etnis Uighur
Sekretaris Kabinet Amerika Serikat, Mike Pompeo menyerukan China "segera mengakhiri praktik mengerikan ini"
Dalam sebuah pernyataan, Pompeo mendesak "semua negara untuk bergabung dengan Amerika Serikat dalam menuntut diakhirinya pelanggaran tidak manusiawi ini"
Tuduhan ini membuat China mendapat pengawasan dari publik internasional.
Penyelidikan BBC tahun 2019 menunjukkan anak-anak di Xinjiang secara sistematis dipisahkan dari keluarga dalam upaya mengisolasi mereka dari lingkungan muslim.
Seperti apa laporan Adrian Zenz?
Penelitian Adrian didasarkan atas pengumpulan data resmi di tingkat regional.
Baca: Angkatan Laut Jepang dan India Gelar Latihan Militer Bersama, Peringatan untuk China?
Adrian juga memakai sejumlah dokumen kebijakan serta wawancara dengan perempuan etnis minoritas di Xinjiang.
Laporannya menyebut bahwa perempuan Uighur dan etnis minoritas lain diancam akan ditahan jika menolak membatalkan kehamilan yang melebihi angka kelahiran yang telah ditetapkan.
Bagi perempuan yang memiliki anak tidak lebih dari dua, maka diharuskan secara sukarela untuk memasang alat kontrasepsi dalam rahim.
Selain itu, laporan ini menyebut adanya pemaksaan kepada perempuan untuk menerima 'operasi sterilisasi' alias pemaksaan aborsi.
Kemudian, terdapat laporan yang menyebut sejumlah mantan tahanan kamp-kamp diberikan suntikan yang menghentikan menstruasi mereka.
Baca: Setelah Konflik dengan India, China Terjunkan Puluhan Petarung MMA Ke Perbatasan
Selanjutnya, sejumlah mantan tahanan mengaku dirinya mengalami pendarahan hebat akibat efek obat-obatan pengontrol kelahiran, tertulis dalam laporan tersebut.
"Semenjak kebijakan keras ini dimulai akhir 2016, Xinjiang berubah menjadi wilayah yang kejam, campur tangan negara atas otonomi reproduksi telah ada di mana mana," kata laporan itu.
Berdasarkan analisa data, laporan ini menyebut adanya penurunan pertumbuhan populasi di wilayah Xinjiang dalam beberapa tahun terakhir.
Tingkat pertumbuah turun 84% di dua prefektur tempat tinggal mayoritas etnis Uighur pada kurun waktu 2015 dan 2018.
Sementara tahun 2019 disebut menurun lebih jauh lagi.
"Penurunan semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya, (jelas) ada kekejaman di situ," kata Adrian Zenz kepada Associated Press.
"Ini merupakan bagian dari strategi kontrol menaklukan (etnis) Uighur,"
"Secara keseluruhan, dimungkinkan pihak berwenang Xinjiang terlibat dalam sterilisasi massal perempuan yang memiliki tiga anak atau lebih," ungkap laporan ini.
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)