WHO Peringatkan Dunia Bisa Segera Hadapi Gelombang Kedua Covid-19, meski Terjadi Penurunan Penularan

WHO peringatkan negara di dunia bisa hadapi gelombang kedua jika terlalu cepat mengakhiri langkah kedaruratan


zoom-inlihat foto
perawat-indonesia-diusulkan-pns.jpg
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
ILUSTRASI - Petugas medis mengambil sample darah pedagang saat Rapid Test virus corona atau Covid-19 di Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (21/4/2020). Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) Banten menggelar screening test virus corona atau Covid-19 diantaranya di sejumlah pasar.


TRIBUNNEWSWIKI.COM - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan negara di dunia akan segera meghadapi puncak kedua Covid-19, meski telah terjadi penurunan tingkat penularan.

Hal itu disampaikan oleh Kepala Kedaruratan WHO, Dr Mike Ryan, pada sebuah briefing online, seperti diberitakan CGTN dari Reuters, Selasa (26/5/2020).

Ryan mengatakan epidemi sering kali datang dalam gelombang-gelombang.

Artinya wabah bisa saja kembali meski sebelumnya sempat mereda.

Bisa juga tingkat infeksi menjadi naik signifikan jika langkah antisipasi gelombang pertama terlalu cepat dihentikan.

"Ketika kita berbicara tentang gelombang kedua secara klasik apa yang sering kita maksudkan adalah akan ada gelombang pertama penyakit dengan sendirinya, dan kemudian muncul kembali berbulan-bulan kemudian. Dan itu mungkin menjadi kenyataan bagi banyak negara dalam waktu beberapa bulan, "Kata Ryan.

Baca: Apa Itu New Normal Life yang Dimaksud Pemerintah setelah Adanya Pandemi Virus Corona?

ILUSTRASI - Staf medis di Rumah Sakit Daegu Dongsan khusus penanganan virus corona
ILUSTRASI - Staf medis di Rumah Sakit Daegu Dongsan khusus penanganan virus corona (Keimyung University Dongsan Hospital via koreaherald)

"Tetapi kita juga harus menyadari fakta bahwa penyakit ini dapat melonjak kapan saja. Kita tidak dapat membuat asumsi bahwa hanya karena penyakit sedang dalam perjalanan turun sekarang akan terus turun dan kita mendapatkan beberapa bulan untuk bersiap-siap menghadapi gelombang kedua. Kita mungkin mendapatkan puncak kedua dalam gelombang ini."

Dia mengatakan negara-negara di Eropa dan Amerika Utara harus "terus menempatkan kesehatan masyarakat dan langkah-langkah sosial, langkah-langkah pengawasan, langkah-langkah pengujian dan strategi yang komprehensif untuk memastikan bahwa kita melanjutkan lintasan menurun dan kita tidak memiliki puncak kedua dalam waktu dekat."

Memang berbagai negara di dunia mulai mengendorkan kebijakan lockdown atau sejenisnya.

Hal itu lantaran kebijakan semacam ini berdampak sangat buruk pada ekonomi.

Belajar dari Hokkaido: Dipandang Berhasil Tangani Wabah, Kemudian Terserang Gelombang Kedua

Hokkaido, Jepang, sempat dianggap sebagai daerah yang berhasil menekan laju penularan Covid-19.

Hokkaido menjadi daerah pertama di Jepang yang menyatakan keadaan darurat akibat Covid-19.

Setelahnya, sekolah mulai ditutup, pertemuan besar dibatalkan, dan orang-orang mulai didorong untuk beraktivitas dari rumah saja.

Selain itu, Hokkaido juga melakukan pelacakan siapa saja yang telah melakukan kontak dengan pasien positif Covid-19, seperti diberitakan BBC, Jumat (17/4/2020).

Kebijakan itu berhasil menekan angka penularan.

Status keadaan darurat dicabut pada 19 Maret.

Sementara itu, sekolah mulai dibuka pada awal April.

Akan tetapi, hanya 26 hari setelah keadaan darurat dicabut, Hokkaido harus memberlakukannya kembali.

Gelombang kedua Covid-19 menyebar di daerah itu.

Mengapa hal demikian bisa terjadi?

ILUSTRASI - Mobil ambulans menjemput pasien dengan gejala ringan Covid-19 di Tokyo, Jepang, Selasa (7/4/2020)
ILUSTRASI - Mobil ambulans menjemput pasien dengan gejala ringan Covid-19 di Tokyo, Jepang, Selasa (7/4/2020) (KAZUHIRO NOGI / AFP)

Baca: Jepang Kewalahan Hadapi Covid-19, Wali Kota Osaka Sampai Minta Warga Sumbangkan Jas Hujan untuk APD

Hokkaido cukup mudah mengendalikan wabah karena mereka terserang di awal, sehingga masih bisa mengendalikan ketika angka belum begitu tinggi.

"Relatif mudah untuk menangani cluster, untuk melacak jejak dan mengisolasi," kata Profesor Kenji Shibuya dari King's College London.

"Pihak berwenang cukup sukses dalam pendekatan kontrol cluster mereka. Jepang berada pada fase paling awal dari wabah saat itu. Itu dilokalkan dan itu adalah kisah sukses."

Dalam hal ini, Hokkaido memiliki beberapa kesamaan dengan apa yang terjadi di kota Daegu, Korea Selatan.

Di sana, penyebaran wabah dilacak secara massif.

Mereka yang terinfeksi diisolasi dan angka penularan ditekan.

Tapi tindakan kedua dari Hokkaido jauh lebih tidak meyakinkan.

Setelah wabah Daegu, pemerintah Korea Selatan memulai program pengujian besar-besaran untuk mencoba dan melacak epidemi.

Jepang telah melakukan yang sebaliknya.

Bahkan, lebih dari tiga bulan setelah Jepang mencatat kasus pertama, masih hanya menguji sebagian kecil dari populasi.

Awalnya, pemerintah mengatakan hal itu itu karena pengujian skala besar adalah "pemborosan sumber daya".

Sekarang harus mengakui akan meningkatkan pengujian, meski beberapa alasan tampaknya akan membuat usaha itu tak begitu mudah.

Pertama, Kementerian Kesehatan Jepang khawatir rumah sakit akan kewalahan oleh orang yang dites positif, tetapi hanya memiliki gejala kecil.

Pada skala yang lebih luas, pengujian adalah tanggung jawab pusat kesehatan setempat dan bukan pada tingkat pemerintah nasional.

Sayangnya, beberapa pusat lokal ini tidak dilengkapi dengan staf atau peralatan untuk menangani pengujian dalam skala besar.

Aalasan ini berarti pemerintah Jepang tak memiliki gagasan yang jelas, kata Prof Shibuya.

"Kami berada di tengah fase ledakan wabah," katanya.

"Pelajaran utama yang dapat diambil dari Hokkaido adalah bahwa bahkan jika Anda berhasil dalam kontainmen pertama kali, sulit untuk mengisolasi dan mempertahankan kontainmen untuk jangka waktu yang lama. Kecuali jika Anda memperluas kapasitas pengujian, sulit untuk mengidentifikasi transmisi komunitas dan transmisi rumah sakit."

Pelajaran ketiga adalah bahwa "realitas baru" ini akan berlangsung jauh lebih lama dari yang diperkirakan kebanyakan orang.

Hokkaido sekarang harus memaksakan kembali pembatasan tersebut, meskipun versi Jepang dari "lockdown" Covid-19 lebih lunak daripada yang diberlakukan di tempat lain.

Kebanyakan orang masih akan bekerja.

Sekolah mungkin ditutup, tetapi toko-toko dan bahkan bar tetap buka.

Prof Shibuya berpikir tanpa langkah-langkah yang lebih keras, Jepang hanya memiliki sedikit harapan untuk mengendalikan apa yang disebut "gelombang kedua" infeksi yang sekarang terjadi, tidak hanya di Hokkaido, tetapi di seluruh negeri.

"Pelajaran utama, adalah bahkan jika Anda berhasil dalam penahanan secara lokal tetapi ada transmisi yang terjadi di bagian lain negara itu, selama orang bergerak, sulit untuk mempertahankan status bebas virus."

Meski begitu, perekonomian di Hokkaido sudah sangat buruk.
Pulau ini sangat tergantung pada pariwisata, dan Jepang telah melarang perjalanan dari AS dan Eropa dan sebagian besar negara di Asia.

Ilustrasi suasana di Jepang - Orang-orang yang mengenakan masker wajah sebagai tindakan pencegahan terhadap coronavirus COVID-19 di jalan distrik perbelanjaan Ameya-Yokocho, yang terletak di sebelah Stasiun Ueno, di Tokyo pada 11 April 2020. Gubernur Tokyo Yuriko Koike mengatakan pada 10 April bahwa pemerintah metropolitan akan meminta banyak bisnis, termasuk klub malam, ruang karaoke, dan ruang pinball pachinko untuk menangguhkan operasi mulai 11 April karena keadaan darurat terkait epidemi coronavirus.
Ilustrasi suasana di Jepang - Orang-orang yang mengenakan masker wajah sebagai tindakan pencegahan terhadap coronavirus COVID-19 di jalan distrik perbelanjaan Ameya-Yokocho, yang terletak di sebelah Stasiun Ueno, di Tokyo pada 11 April 2020. Gubernur Tokyo Yuriko Koike mengatakan pada 10 April bahwa pemerintah metropolitan akan meminta banyak bisnis, termasuk klub malam, ruang karaoke, dan ruang pinball pachinko untuk menangguhkan operasi mulai 11 April karena keadaan darurat terkait epidemi coronavirus. (Kazuhiro NOGI / AFP)

Baca: Dugaan Bully di Kasus Bunuh Diri Hana Kimura: 75 Persen Pengguna Medsos di Jepang Memakai Akun Palsu

Hal itu membuat beberapa pusat ekonomi di Hokkaido terpaksa tutup dan merumahkan pegawainya.

Kalaupun buka, kondisi sekarang ini hampir tidak ada pelanggan.

Hal seperti ini disampaikan oleh Naoki Tamura, pemilik bar, kepada BBC.

"Satu atau dua datang setiap malam," katanya.

"Dulu ada banyak turis dari Cina dan Asia Tenggara. Mereka benar-benar pergi. Kami tidak mendengar bahasa asing berbicara di jalan sekarang. Tempat penginapan yang lebih kecil harus ditutup. Bisnis pariwisata benar-benar berjuang."

Keadaan darurat baru secara resmi akan selesai pada 6 Mei, akhir liburan "Golden Week" Jepang.

Tetapi seorang pejabat pemerintah setempat yang bekerja pada penanggulangan epidemi di Hokkaido mengatakan kepada BBC, mereka mungkin harus mempertahankan langkah-langkah ini lebih lama lagi.

"Kami merasa kami harus terus melakukan hal yang sama," katanya.

"Tujuannya adalah untuk meminimalkan kontak antara orang-orang, untuk menghentikan penyebaran virus."

Jadi berapa lama artinya?

"Sampai kita menemukan vaksin," katanya.

"Kita harus terus berusaha menghentikan ekspansi."

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Ahmad Nur Rosikin)





BERITATERKAIT
Ikuti kami di
KOMENTAR

ARTIKEL TERKINI

Artikel POPULER

© 2025 tribunnnewswiki.com,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved