Seluruh sudut ruangan tidak ada teralis seperti penjara, lebih mirip sekolah berasrama.
"Perlakuan terhadap anak berbeda dengan yang dewasa.
Petugas pun harus lebih ramah," kata Teguh.
Teguh mengatakan, agar tidak melakukan perbuatan yang sama, para siswa dilakukan tiga langkah pendampingan dari LPKA.
Adapun di antaranya, kemandirian, kepribadian, dan sosial.
Pembinaan kepribadian meliputi agama, kepramukaan dan, sekolah.
Untuk pembinaan kemandirian setahun ada 3 kali diberikan pelatihan.
"Untuk tahun ini ada pangkas rambut dan sablon, kami juga kerjasama dengan beberapa universitas untuk melakukan pendampingan psikologi," katanya.
Dia mengatakan, selain pendampingan, warga binaan ini tetap melanjutkan sekolah.
Meski tak sama dengan para siswa di luar, paling tidak mereka tak ketinggalan mendapatkan pelajaran.
"Kami juga memiliki grup WA dengan orangtua.
Jadi perkembangan anak bisa diketahui orang tua," ucap Teguh.
"Yang keluar dari LPKA tidak ada yang kembali lagi melakukan kejahatan.
Bahkan yang dulu sudah keluar ada yang membuka cafe, dan usaha lainnya," kata Teguh.
Perilaku klitih dan penyesalan
Hubungan dekat antara petugas LPKA dan warga binaan seringkali mereka mengungkapkan peristiwa yang terjadi.
Menurut Teguh, ada dua tipe klitih yang sering dilakukan di Yogyakarta.
Pertama adalah individu yang kedua adalah kelompok.
Mereka rata-rata berusia SMA.
"Individu itu biasanya hanya berdua dan yang kami tangani terpengaruh minuman keras, kalau kelompok seperti yang terjadi di Karangkajen itu mereka suporter futsal bertemu di jalan dan terjadi gesekan," ucap Teguh