Menurutnya, hal itu bisa membuat harga BBM non subsidi jenis Pertamax dan Dex yang diturunkan kembali mengalami penyesuaian.
"Sementara harga acuan Brent hari ini telah mencapai 70,1 dollar AS per barrel. Di sisi lain, harga BBM non subsidi jenis Pertamax dan Dex berisiko mengalami penyesuaian setelah sebelumnya turun di awal Januari," jelas Bhima.
Baca: Diklaim China, Rupanya Natuna Tak Hanya Kaya Sumber Daya Ikan tapi Juga Cadangan Minyak dan Gas Bumi
Baca: Iran Luncurkan Rudal ke Pangkalan AS, Donald Trump Klaim Militernya yang Paling Kuat
Pada awal 2020, pemerintah baru saja menurunkan harga BBM non subisidi.
Menurut Bhima, jika perang benar terjadi, maka harga BBM diprediksi akan naik kembali.
“Bisa naik kembali karena harga BBM khususnya non subsidi bergantung pada tren harga minyak dunia," imbuhnya.
Hal tersebut ujung-ujungnya akan berdampak pada inflasi dan daya beli masyarakat yang kemudian memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Ini ujungnya adalah inflasi yang lebih tinggi dibanding tahun 2019. Jika tekanan pada harga kebutuhan pokok naik, ujungnya daya beli tertekan dan pertmbuhan ekonomi diprediksi merosot dibawah 4.8 persen," ujar Bhima seperti dlansir oleh Kompas.com.
Sementara itu, di pasar keuangan, para investor akan takut untuk berinvestasi di pasar negara berkembang jika konflik Iran-AS kian memanas.
Investor akan lebih memilih bermain aman, misalnya dengan membeli dolar AS atau harga emas.
Indikator tersebut sudah terlihat dari naiknya harga emas dunia sebesar 3,5 persen dibandingkan pekan lalu menjadi 1.572 dollar AS per ons dan dollar indeks menguat tipis 0,85 persen dalam sepekan terakhir.
"Kalau di pasar keuangan dampaknya adalah volatilitas yang membahayakan ekonomi dalam jangka panjang," jelas Bhima.
"Harga bbm dan listrik berisiko naik, daya beli merosot, rupiah melemah, investor menyimpan di aset aman, dan kinerja ekspor maupun investasi makin berat," ucapnya.
(Tribunnewswiki.com/Ami Heppy, Kompas.com/Mutia Fauzia)