TRIBUNNEWSWIKI.COM – Hubungan Iran dan Amerika Serikat semakin memanas setelah kematian jenderal top Iran, Qasem Soleimani akibat dirudal AS.
Pihak Iran tak tinggal diam, mereka mengancam akan melakukan pembalasan.
Hal tersebut benar terbukti setelah adanya serangan “puluhan rudal” Iran ke markas militer pasukan AS dan sekutunya di Irak.
Dilaporkan Sky News, Rabu (8/1/2020), "puluhan rudal" itu ditembakkan Divisi Luar Angkasa Garda Revolusi Iran, dan dinamai "Martir Soleimani".
Operasi itu dikatakan merupakan pembalasan atas pembunuhan Jenderal Qasem Soleimani oleh AS pada Jumat (3/1/2020) lalu.
Lalu dampak apa yang akan dialami oleh Indonesia khusunya bilang perang dunia ketiga benar-benar terjadi?
Baca: Hari Ini dalam Sejarah: 22 September 1980, Invasi Irak ke Iran Mengawali Perang Irak-Iran
Baca: Iran Ingatkan Potensi Pecahnya Perang di Timur Tengah Jika AS Gencarkan Serangan Balik
Dampak langsung dari konflik ini adalah kenaikan harga minyak dunia secara kontinu.
Direktur Riset Centre of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah menilai, ketegangan kedua negara yang berlarut bisa menyebabkan defisit migas RI kian melebar.
Pasalnya, dalam beberapa hari terakhir pasca serangan terjadi, harga minyak dunia terus merangkak naik.
"Ketegangan ini juga bisa berdampak ke perekonomian melalui jalur perdagangan misalnya dengan kenaikan harga minyak. Tentunya kita berharap kedua pihak bisa menahan diri dan menyelesaikan perbedaan dengan jalan damai," jelas Piter kepada Kompas.com, Selasa (7/1/2020).
Dilaporkan oleh CNBC, Selasa (7/1/2020) harga minyak minyak mentah berjangka West Texas Intermediate AS melonjak lebih dari 4 persen di mana harganya mencapai 71,75 dollar AS atau sekitar Rp 999.248 per barel.
Awalnya, minyak mentah berjangka West Tezas Intermediate AS (WTI) 64,36 dollar AS (sekitar Rp 896.328) per barelnya.
Tidak hanya WTI, harga minyak mentah berjangka Brent juga mengalami kenaikan sebesar 2,4 persen menjadi 70,24 dollar AS atau sekitar Rp 978.218 per barel.
Baca: Gempa Bumi Berkekuatan 4.9 Guncang Iran di Dekat Fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Baca: Pesawat Ukraina yang Membawa 180 Penumpang Jatuh di Dekat Teheran, Presiden Iran Singgung Lockerbie
Diketahui, Brent terakhir kali menembus di level harga 70 dollar AS per barel sejak enam bulan lalu.
Piter juga mengatakan bahwa ketegangan geopolitik tersebut merusak tren sentimen positif di pasar keuangan global yang terbangun paska kesepakatan perdang dagang antara AS dan China.
Kekhawatiran timbulnya perang akan menahan aliran modal asing masuk ke negara-negara berkembang termasuk ke Indonesia.
Hal tersebut bakal berdampak negatif terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira.
Bhima menjelaskan bahwa dengan adanya peningkatan ketegangan AS dan Iran, maka beban subsidi BBM dan tarif listrik bakal bengkak di awal tahun.
Pasalnya, asumsi harga minyak mentah acuan RI (ICP) di APBN 2020 sebesar 63 dollar AS per barrel, jauh lebih rendah dari harga acuan global yang sudah mulai menanjak naik.
Menurutnya, hal itu bisa membuat harga BBM non subsidi jenis Pertamax dan Dex yang diturunkan kembali mengalami penyesuaian.
"Sementara harga acuan Brent hari ini telah mencapai 70,1 dollar AS per barrel. Di sisi lain, harga BBM non subsidi jenis Pertamax dan Dex berisiko mengalami penyesuaian setelah sebelumnya turun di awal Januari," jelas Bhima.
Baca: Diklaim China, Rupanya Natuna Tak Hanya Kaya Sumber Daya Ikan tapi Juga Cadangan Minyak dan Gas Bumi
Baca: Iran Luncurkan Rudal ke Pangkalan AS, Donald Trump Klaim Militernya yang Paling Kuat
Pada awal 2020, pemerintah baru saja menurunkan harga BBM non subisidi.
Menurut Bhima, jika perang benar terjadi, maka harga BBM diprediksi akan naik kembali.
“Bisa naik kembali karena harga BBM khususnya non subsidi bergantung pada tren harga minyak dunia," imbuhnya.
Hal tersebut ujung-ujungnya akan berdampak pada inflasi dan daya beli masyarakat yang kemudian memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Ini ujungnya adalah inflasi yang lebih tinggi dibanding tahun 2019. Jika tekanan pada harga kebutuhan pokok naik, ujungnya daya beli tertekan dan pertmbuhan ekonomi diprediksi merosot dibawah 4.8 persen," ujar Bhima seperti dlansir oleh Kompas.com.
Sementara itu, di pasar keuangan, para investor akan takut untuk berinvestasi di pasar negara berkembang jika konflik Iran-AS kian memanas.
Investor akan lebih memilih bermain aman, misalnya dengan membeli dolar AS atau harga emas.
Indikator tersebut sudah terlihat dari naiknya harga emas dunia sebesar 3,5 persen dibandingkan pekan lalu menjadi 1.572 dollar AS per ons dan dollar indeks menguat tipis 0,85 persen dalam sepekan terakhir.
"Kalau di pasar keuangan dampaknya adalah volatilitas yang membahayakan ekonomi dalam jangka panjang," jelas Bhima.
"Harga bbm dan listrik berisiko naik, daya beli merosot, rupiah melemah, investor menyimpan di aset aman, dan kinerja ekspor maupun investasi makin berat," ucapnya.
(Tribunnewswiki.com/Ami Heppy, Kompas.com/Mutia Fauzia)