Sosok Erdogan, Presiden Tiga Periode di Turki yang Populer & Jadi Simbol Kebangkitan Islam di Sana

Penulis: Ika Wahyuningsih
Editor: Febri Ady Prasetyo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyaksikan pidatonya selama rapat umum kampanyenya di distrik Sultangazi Istanbul, pada 12 Mei 2023. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersiap untuk bertemu pendukung garis kerasnya pada 12 Mei 2023 untuk menunjukkan kekuatan abadi di menghadapi tantangan pemilihan terberatnya selama dua dekade pemerintahannya.

Namun, dia berulang kali mengatakan bahwa peran perempuan di dalam masyarakat harus “memenuhi peran gender tradisional” dan bagi perempuan peran yang dimaksud itu adalah “menjadi ibu dan istri yang ideal”, di atas segalanya.

Dia mengutuk feminis dan mengatakan para laki-laki dan perempuan tidak bisa diperlakukan secara sama.

Erdogan telah lama memperjuangkan perjuangan Islam dan Islam politik, kelompok-kelompok yang secara ideologis dekat dengan Ikhwanul Muslimin yang tertindas di Mesir.

Terkadang, dia menggunakan salam empat jari khas kelompok itu--rabaa.

Pada Juli 2020, dia mengonversi Hagia Sophia yang bersejarah di Istanbul menjadi masjid, membuat marah banyak orang Kristen dan Muslim sekuler di Turkiye.

Hagia Sophia dibangun 1.500 tahun yang lalu sebagai katedral, dan dijadikan masjid oleh rezim Ottoman. Namun Ataturk mengubahnya menjadi museum, simbol dari negara sekuler baru.

Memperkuat cengkeramannya

Erdogan dilarang mencalonkan diri kembali sebagai perdana menteri pada 2014 karena telah mencapai batas tiga kali masa jabatan.

Dia kemudian mencalonkan diri untuk peran seremonial sebagai presiden dalam pemilihan langsung yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dia berencana mereformasi jabatan tersebut melalui konstitusi yang baru, yang oleh para kritikus diyakini akan menantang pendirian sekuler negara itu.

Namun pada masa-masa awal kepresidenannya, dia menghadapi dua ujian atas kekuasaannya.

Partainya kehilangan suara mayoritas di parlemen selama beberapa bulan pada 2015, dan dua tahun berikutnya, tepatnya pada 15 Juli 2016, upaya kudeta terjadi untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade di Turkiye.

Hampir 300 warga sipil tewas ketika mereka berupaya memblokir pergerakan maju komplotan kudeta.

Plot kudeta itu dituduhkan pada kelompok Gulen, yang dipimpin oleh seorang cendekiawan Islam yang berbasis di AS bernama Fethullah Gulen.

Gerakan sosial dan budaya dari kelompok Gulen telah membantu Erdogan meraih kemenangan dalam tiga pemilihan berturut-turut, tetapi ketika kedua sekutu itu bercerai, timbul dampak yang dramatis bagi masyarakat Turkiye.

Menyusul upaya kudeta pada 2016, sekitar 150.000 pegawai negeri dipecat dan lebih dari 50.000 orang ditahan termasuk tentara, jurnalis, pengacara, polisi, akademisi, hingga politisi Kurdi.

Aksi represif terhadap kritik ini memicu kekhawatiran internasional, dan berkontribusi pada mendinginnya hubungan Turkiye dengan Uni Eropa: pengajuan Turkiye untuk bisa bergabung dengan Uni Eropa tidak berprogres selama bertahun-tahun.

Argumen Turkiye soal masuknya imigran ke Yunani memperburuk situasi itu.

Erdogan menang tipis dalam referendum 2017 yang memberinya kekuasaan kepresidenan, termasuk hak untuk memberlakukan status keadaan darurat dan menunjuk pejabat tinggi publik, serta untuk campur tangan dalam sistem hukum.

Aktor internasional

Sepanjang masa kepemimpinannya, Erdogan juga tumbuh sebagai tokoh penting dalam politik internasional.

Dia menunjukkan Turkiye sebagai kekuatan regional dan gaya diplomasinya yang agresif membuat marah para sekutunya di Eropa dan sekitarnya.

Meskipun dia adalah pemimpin dari negara anggota NATO, Erdogan berhubungan dekat dengan Vladimir Putin dari Rusia dan memposisikan dirinya sebagai penengah dalam perang Rusia di Ukraina.

Dia membantu menengahi kesepakatan yang membuka koridor aman untuk ekspor biji-bijian melalui Laut Hitam, dan mencegah penghentiannya saat Rusia berencana mengakhiri perjanjian tersebut.

Erdogan juga membuat Swedia dan Finlandia menunggu pengajuan mereka untuk bergabung dengan aliansi NATO.

Dia akhirnya menyetujui Finlandia untuk bergabung, tapi menahan Swedia dan menuduh negara itu menyembunyikan separatis Kurdi dan pembangkang lainnya yang dia anggap sebagai “teroris”.

Keadaan berbalik

Banyak kritikus memandang pemilihan lokal 2019 sebagai “pukulan pertama” bagi pemerintahan panjang Erdogan karena partainya kalah di tiga kota terbesar: Istanbul, Ankara, dan Izmir.

Kekalahan wali kota Istanbul kepada Ekrem Imamoglu yang merupakan oposisi utama dari Partai Rakyat Republik (CHP) merupakan pukulan telak bagi Erdogan, yang pernah menjadi wali kota Istanbul pada 1990-an.

Saat ini, Imamoglu berupaya memperluas kesuksesannya pada level nasional.

Dia berkampanye bersama calon presiden dari kubu oposisi yang bersatu melawan Erdogan, Kemal Kilicdaroglu.

Kritik atas kurangnya kesiapsiagaan pemerintah dan lambatnya respons terhadap gempa dahsyat yang menewaskan lebih dari 50.000 orang dan membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal adalah satu dari banyak tantangan yang dihadapi kubu Erdogan.

Tantangan lainnya adalah kondisi ekonomi yang memburuk di mana jutaan orang menderita akibat krisis biaya hidup.

Pada 14 Mei, Erdogan mempertaruhkan warisannya selama dua dekade dalam pemungutan suara melawan aliansi oposisi yang kuat.

Kini Erdogan memenangkan Pemilu dan kembali terpilih menjadi Presiden Turkiye

Recep Tayyip Erdogan menang dalam Pilpres Turkiye putaran kedua yang diselenggarakan pada Minggu (28/5/2023).

Hasil resmi menunjukkan Erdogan meraup 52,1 persen suara dalam Pilpres Turkiye putaran kedua, sedangkan lawannya, Kemal Kilicdaroglu 47,9 persen suara.

Dengan ini, dia berhasil memperpanjang kekuasaannya di Turkiye hingga 2028.

Pelpres tahun ini adalah yang ketiga kalinya dimenangkan Erdogan selama dua dekade memerintah Turkiye.

Dia pertama kali terpilih menjadi Presiden Turkiye pada 2014, setelah menjabat sebagai Perdana Menteri sejak 2003.

Dilansir Kompas, pemilu kali ini telah dilihat sebagai salah satu yang paling penting bagi Turkiye.

Pihak oposisi yakin bahwa mereka memiliki peluang kuat untuk menggulingkan Erdogan dan membalikkan kebijakannya setelah popularitasnya dilanda krisis biaya hidup.

Baca: Viral Video Pejabat Rusia di Turki Dihajar Pejabat Ukraina karena Rampas Bendera Ukraina

Baca: Turkiye Kembali Diguncang Gempa Besar, Berkekuatan M 6,4, Tewaskan 3 Orang

Sebaliknya, kemenangan Erdogan akan memperkuat citranya yang tak terkalahkan, setelah dia mengubah kebijakan domestik, ekonomi, keamanan, dan luar negeri di negara anggota NATO berpenduduk 85 juta orang itu.

Sebagaimana dikutip dari Reuters, dalam pidato kemenangan di Ankara, Erdogan berjanji untuk meninggalkan semua perselisihan dan bersatu di belakang nilai-nilai dan impian nasional.

Tetapi, dia kemudian menyerang oposisi dan menuduh Kilicdaroglu berpihak pada teroris tanpa memberikan bukti.

Dia mengatakan, pembebasan mantan pemimpin partai pro-Kurdi Selahattin Demirtas, yang dia cap sebagai "teroris," tidak akan mungkin dilakukan di bawah pemerintahannya.

Foto selebaran yang diambil dan dirilis oleh Kantor Pers Kepresidenan Turki pada 28 Mei 2023 menunjukkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (kanan) dan istrinya Emine Erdogan (kiri) berbicara kepada para pendukung yang berkumpul di luar kediamannya di distrik Kisikli di Istanbul. Ketua komisi pemilu Turki pada 28 Mei 2023 menyatakan Presiden Recep Tayyip Erdogan sebagai pemenang pemilihan putaran kedua yang bersejarah yang akan memperpanjang kekuasaannya selama 20 tahun hingga 2028. (MURAT CETIN MUHURDAR / LAYANAN PERS PRESIDEN TURKI / AFP)

Erdogan mengatakan inflasi adalah masalah paling mendesak di Turkiye.

Sementara itu, Kemal Kilicdaroglu menyebut Pilpres kali ini sebagai Pemilu yang paling tidak adil dalam beberapa tahun terakhir. Namun, dia tidak membantah hasilnya.

Kekalahan Kilicdaroglu kemungkinan akan diratapi oleh sekutu Turkiye di NATO yang khawatir dengan hubungan Erdogan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Putin sendiri dilaporkan telah mengucapkan selamat kepada "sahabatnya" itu atas kemenangan di Pilpres Turkiye 2023.

Presiden AS Joe Biden menulis di Twitter, "Saya berharap dapat terus bekerja sama sebagai Sekutu NATO dalam masalah bilateral dan berbagi tantangan global".

(TRIBUN KALTIM/TRIBUNNEWSWIKI)

Sebagian artikel ini telah tayang di Tribun Kaltim dengan judul Profil Erdogan Menang Pemilu, Presiden Turkiye 3 Periode, Pernah Dipenjara hingga Alami Kudeta

 



Penulis: Ika Wahyuningsih
Editor: Febri Ady Prasetyo
BERITA TERKAIT

Berita Populer