Hal ini lantaran Erdogan kembali terpilih menjadi Presiden Turki untuk periode ketiga.
Tak hanya itu saja, banyak yang masih penasaran dengan sosok Erdogan.
Berikut sosok Erdogan.
Recep Tayyip Erdogan atau Erdogan adalah seorang politikus Turki yang menjabat sebagai Presiden Turki sejak 2014.
Pria kelahiran Istanbul dan dibesarkan di Rize pesisir Laut Hitam.
Sejak umur 13 tahun erdogan kembali ke Istambul dalam sebuah keluarga kelas menengah.
Ayahnya adalah seorang pelaut sebagai penjaga pantai Angkatan Laut yang berasal dari Rize.
Baca: Erdogan Kembali Terpilih Menjadi Presiden Turki Ketiga Kalinya
Baca: Presiden Erdogan Umumkan Keadaan Darurat Selama Tiga Bulan di Daerah Gempa
Erdogan tumbuh di Kota kecil di daerah Kasimpasa Istanbul yang terkenal sebagai daerah para pekerja keras, hobi erdogan sejak kecil yakni bermain bola.
Erdogan belajar di sekolah agama yang bernama Sekolah Imam Hatip dan melanjutkan ke Unniversitas Marmara jurusan ekonomi dan bisnis.
Pada usia 16 tahun, Erdogan menjadi pemain sepak bola semi profesional dan bekerja di perusahaan angkutan di Istanbul.
Sebelum menjadi Presiden, Erdogan menjabat sebagai Perdana Menteri Turki sejak 14 Maret 2003 samapai 28 Agustus 2014.
Pada tahun 2010, Erdogan terpilih sebagai tokoh muslim ke 2 yang berpengaruh di dunia.
Erdogan juga seorang pimpinan Adalet ve Kalkinmas Partisi (AKP atau Partai Keadilan dan Pembangunan).
Pada 2007 Maret 1994, terpilih sebagai Wali kota Istanbul.
Erdogan pernah dipenjara pada 12 Desember 1997 karena puisinya yang bermasalah.
Setelah dipenjara empat bulan, Erdogan membangun Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) adalah gerakan politik terbesar yang didukung turki.
Sejak 91 tahun Turki menggelar pemilihan presiden secara langsung pada 10 Agustus 2014.
Terdapat tiga calon yang maju dalam pemilihan presiden Turki 2014.
Perdana Menteri Turki Erdogan turut maju dalam pilpres. Dua calon lainnya adalah Ekmeleddin İhsanoğlu yang merupakan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam sejak 2005, dan Selahattin Demirtas yang merupakan politisi etnis Kurdi di Turki.
Erdogan terpilih menjadi Presiden Turki dengan suara 52 persen yang mengalahkan dua pesaingnya.
Pada 28 Agustus, Erdogan resmi dilantik menjadi Presiden ke 12 di kantor Ankara.
Pengganti Erdogan pada kursi perdana menteri adalah Menteri Luar Negeri Ahmet Davutoglu.
- 1985: Ketua Partai Kesejahteraan di Provinsi Istanbul dan ikut serta dalam pemilihan wali kota untuk wilayah kosmopolitan Beyoğlu di Istanbul tengah.
- 1980: Calon Majelis Agung Nasional Turki
- 1991: Terpilih sebagi anggota parlemen dari Provinsi Istanbul
- 1994: Menjadi wali kota Istanbul Raya dan Presiden dari Dewan Metropolitan Istanbul Raya
- 2002: Kemenangan partainya AKP (Adelet ve Kalkinma Partisi).
Kebangkitan menuju kekuasaan
Recep Tayyip Erdogan lahir pada Februari 1954. Dia dibesarkan sebagai putra dari seorang pelaut di Angkatan Laut di Laut Hitam di wilayah utara Turkiye.
Ketika dia berusia 13 tahun, ayahnya memutuskan untuk pindah ke Istanbul, dengan harapan bisa memberikan pendidikan yang lebih baik kepada kelima anaknya.
Saat muda, Erdogan pernah berjualan limun dan bagel wijen, yang dikenal sebagai “simit” demi mendapatkan uang tambahan.
Dia bersekolah di sekolah Islam sebelum meraih gelar manajemen dari Universitas Marmara Istanbul. Gelar diplomanya kerap menjadi sumber kontroversi.
Oposisi menuding dia tidak memiliki gelar sarjana penuh, namun setara dengan gelar vokasi, sebuah tuduhan yang selalu dibantah oleh Erdogan. Erdogan muda juga tertarik pada sepak bola.
Dia sempat menjadi bagian dari tim semi-profesional hingga tahun 1980-an.
Namun hasrat utamanya adalah politik. Pada 1970-an dan 1980-an, dia aktif di kalangan Islamis, dan bergabung dengqn Partai Kesejahteraan pro-Islam pimpinan Necmettin Erbakan.
Ketika partai tersebut semakin populer pada 1990-an, Erdogan mencalonkan diri sebagai wali kota Istanbul pada 1994, dan memimpin kota itu selama empat tahun.
Erbakan, perdana menteri Islamis pertama Turkiye, menjabat hanya satu tahun sebelum dipaksa mundur pada 1997 oleh militer, dan Erdogan juga berkonflik dengan otoritas sekuler di negara itu.
Pada tahun yang sama, dia dihukum karena menghasut kebencian rasial setelah membaca puisi nasionalis di depan umum yang salah satu lariknya berbunyi: “Masjid adalah barak kami, kubah adalah helm kami, menara masjid adalah bayonet kami, dan orang-orang yang loyal adalah tentara kami.”
Baca: Masjid Biru Turki
Baca: Diplomat Tinggi AS Kunjungi Zona Gempa Turki, Janjikan Bantuan hingga 100 Juta Dolar
Setelah menjalani hukuman empat bulan penjara, dia kembali terjun ke dunia politik. Namun pada 1998, partai politiknya dilarang oleh pemerintah karena melanggar prinsip-prinsip sekuler yang ketat dari negara Turkiye modern.
Pada Agustus 2001, dia mendirikan partai berakar Islam baru bersama sekutunya, Abdullah Gul, yang diberi nama Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).
Popularitas Erdogan meningkat, terutama di kalangan dua kelompok: pertama, oleh kelompok religius mayoritas Turkiye yang merasa terpinggirkan oleh elite sekuler di negara itu. Kedua, oleh mereka yang menderita akibat krisis ekonomi pada akhir 1990-an.
Pada tahun 2002, AKP memenangkan pemilihan parlemen. Pada tahun berikutnya, Erdogan diangkat sebagai perdana menteri.
Dia bertahan sebagai ketua partai hingga saat ini.
Sejak tahun 2003, dia menjadi perdana menteri selama tiga periode, pada era pertumbuhan ekonomi yang stabil sehingga dia mendapat pujian internasional sebagai seorang reformis.
Kelompok kelas menengah di Turkiye berkembang, dan jutaan orang keluar dari kemiskinan karena Erdoga memprioritaskan proyek-proyek infrastruktur raksasa untuk memodernisasi Turkiye.
Erdogan berhasil meyakinkan pemilih dari kelompok minoritas Kurdi di Turkiye selama tahun-tahun awal dia berkuasa.
Hak-hak orang Kurdi dipulihkan dan setelah tiga dekade berkonflik, proses perdamaian baru diluncurkan pada Maret 2013 yang membuat kelompok militan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) mengumumkan gencatan senjata.
Namun kesekapatan itu hanya bertahan dua tahun, sebelum siklus kekerasan yang berkepanjangan itu kembali terjadi.
Pada 2013, para kritikus mulai memperingatkan bahwa Erdogan menjadi semakin otokratis.
Pada musim panas 2013, pengunjuk rasa turun ke jalan, sebagian dipicu rencana pemerintahan Erdogan mengubah taman yang sangat disukai orang-orang di pusat Kota Istanbul, juga untuk menantang pemerintahannya yang semakin otoriter.
Erdogan memerintahkan penggusuran paksa pengunjuk rasa dari Taman Gezi dan penggunaan kekuatan polisi yang berlebihan memicu demonstrasi massa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Itu menandai titik balik dalam pemerintahannya.
Di mata para pengkritiknya, Erdogan bertindak lebih seperti seorang sultan dari Kesultanan Ustmaniyah dibandingkan seorang demokrat.
Kebangkitan umat Muslim
Partai yang dipimpin Erdogan juga mencabut larangan perempuan mengenakan jilbab di kampus-kampus dan tempat pelayanan publik yang berlaku setelah kudeta militer pada tahun 1990.
Larangan tersebut juga akhirnya dicabut untuk para perempuan di institusi kepolisian, militer, dan peradilan.
Kritikus mengeluhkan bahwa Erdogan telah merusak pilar-pilar republik sekuler yang dibangun Mustafa Kemal Ataturk.
Meski religius, Erdogan selalu membantah bahwa dia ingin memaksakan nilai-nilai Islam, dan bersikeras dia hanya mendukung hak-hak orang Turkiye untuk mengekspresikan keyakinan mereka secara lebih terbuka.
Namun, dia berulang kali mengatakan bahwa peran perempuan di dalam masyarakat harus “memenuhi peran gender tradisional” dan bagi perempuan peran yang dimaksud itu adalah “menjadi ibu dan istri yang ideal”, di atas segalanya.
Dia mengutuk feminis dan mengatakan para laki-laki dan perempuan tidak bisa diperlakukan secara sama.
Erdogan telah lama memperjuangkan perjuangan Islam dan Islam politik, kelompok-kelompok yang secara ideologis dekat dengan Ikhwanul Muslimin yang tertindas di Mesir.
Terkadang, dia menggunakan salam empat jari khas kelompok itu--rabaa.
Pada Juli 2020, dia mengonversi Hagia Sophia yang bersejarah di Istanbul menjadi masjid, membuat marah banyak orang Kristen dan Muslim sekuler di Turkiye.
Hagia Sophia dibangun 1.500 tahun yang lalu sebagai katedral, dan dijadikan masjid oleh rezim Ottoman. Namun Ataturk mengubahnya menjadi museum, simbol dari negara sekuler baru.
Erdogan dilarang mencalonkan diri kembali sebagai perdana menteri pada 2014 karena telah mencapai batas tiga kali masa jabatan.
Dia kemudian mencalonkan diri untuk peran seremonial sebagai presiden dalam pemilihan langsung yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dia berencana mereformasi jabatan tersebut melalui konstitusi yang baru, yang oleh para kritikus diyakini akan menantang pendirian sekuler negara itu.
Namun pada masa-masa awal kepresidenannya, dia menghadapi dua ujian atas kekuasaannya.
Partainya kehilangan suara mayoritas di parlemen selama beberapa bulan pada 2015, dan dua tahun berikutnya, tepatnya pada 15 Juli 2016, upaya kudeta terjadi untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade di Turkiye.
Hampir 300 warga sipil tewas ketika mereka berupaya memblokir pergerakan maju komplotan kudeta.
Plot kudeta itu dituduhkan pada kelompok Gulen, yang dipimpin oleh seorang cendekiawan Islam yang berbasis di AS bernama Fethullah Gulen.
Gerakan sosial dan budaya dari kelompok Gulen telah membantu Erdogan meraih kemenangan dalam tiga pemilihan berturut-turut, tetapi ketika kedua sekutu itu bercerai, timbul dampak yang dramatis bagi masyarakat Turkiye.
Menyusul upaya kudeta pada 2016, sekitar 150.000 pegawai negeri dipecat dan lebih dari 50.000 orang ditahan termasuk tentara, jurnalis, pengacara, polisi, akademisi, hingga politisi Kurdi.
Aksi represif terhadap kritik ini memicu kekhawatiran internasional, dan berkontribusi pada mendinginnya hubungan Turkiye dengan Uni Eropa: pengajuan Turkiye untuk bisa bergabung dengan Uni Eropa tidak berprogres selama bertahun-tahun.
Argumen Turkiye soal masuknya imigran ke Yunani memperburuk situasi itu.
Erdogan menang tipis dalam referendum 2017 yang memberinya kekuasaan kepresidenan, termasuk hak untuk memberlakukan status keadaan darurat dan menunjuk pejabat tinggi publik, serta untuk campur tangan dalam sistem hukum.
Aktor internasional
Sepanjang masa kepemimpinannya, Erdogan juga tumbuh sebagai tokoh penting dalam politik internasional.
Dia menunjukkan Turkiye sebagai kekuatan regional dan gaya diplomasinya yang agresif membuat marah para sekutunya di Eropa dan sekitarnya.
Meskipun dia adalah pemimpin dari negara anggota NATO, Erdogan berhubungan dekat dengan Vladimir Putin dari Rusia dan memposisikan dirinya sebagai penengah dalam perang Rusia di Ukraina.
Dia membantu menengahi kesepakatan yang membuka koridor aman untuk ekspor biji-bijian melalui Laut Hitam, dan mencegah penghentiannya saat Rusia berencana mengakhiri perjanjian tersebut.
Erdogan juga membuat Swedia dan Finlandia menunggu pengajuan mereka untuk bergabung dengan aliansi NATO.
Dia akhirnya menyetujui Finlandia untuk bergabung, tapi menahan Swedia dan menuduh negara itu menyembunyikan separatis Kurdi dan pembangkang lainnya yang dia anggap sebagai “teroris”.
Keadaan berbalik
Banyak kritikus memandang pemilihan lokal 2019 sebagai “pukulan pertama” bagi pemerintahan panjang Erdogan karena partainya kalah di tiga kota terbesar: Istanbul, Ankara, dan Izmir.
Kekalahan wali kota Istanbul kepada Ekrem Imamoglu yang merupakan oposisi utama dari Partai Rakyat Republik (CHP) merupakan pukulan telak bagi Erdogan, yang pernah menjadi wali kota Istanbul pada 1990-an.
Saat ini, Imamoglu berupaya memperluas kesuksesannya pada level nasional.
Dia berkampanye bersama calon presiden dari kubu oposisi yang bersatu melawan Erdogan, Kemal Kilicdaroglu.
Kritik atas kurangnya kesiapsiagaan pemerintah dan lambatnya respons terhadap gempa dahsyat yang menewaskan lebih dari 50.000 orang dan membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal adalah satu dari banyak tantangan yang dihadapi kubu Erdogan.
Tantangan lainnya adalah kondisi ekonomi yang memburuk di mana jutaan orang menderita akibat krisis biaya hidup.
Pada 14 Mei, Erdogan mempertaruhkan warisannya selama dua dekade dalam pemungutan suara melawan aliansi oposisi yang kuat.
Kini Erdogan memenangkan Pemilu dan kembali terpilih menjadi Presiden Turkiye
Recep Tayyip Erdogan menang dalam Pilpres Turkiye putaran kedua yang diselenggarakan pada Minggu (28/5/2023).
Hasil resmi menunjukkan Erdogan meraup 52,1 persen suara dalam Pilpres Turkiye putaran kedua, sedangkan lawannya, Kemal Kilicdaroglu 47,9 persen suara.
Dengan ini, dia berhasil memperpanjang kekuasaannya di Turkiye hingga 2028.
Pelpres tahun ini adalah yang ketiga kalinya dimenangkan Erdogan selama dua dekade memerintah Turkiye.
Dia pertama kali terpilih menjadi Presiden Turkiye pada 2014, setelah menjabat sebagai Perdana Menteri sejak 2003.
Dilansir Kompas, pemilu kali ini telah dilihat sebagai salah satu yang paling penting bagi Turkiye.
Pihak oposisi yakin bahwa mereka memiliki peluang kuat untuk menggulingkan Erdogan dan membalikkan kebijakannya setelah popularitasnya dilanda krisis biaya hidup.
Baca: Viral Video Pejabat Rusia di Turki Dihajar Pejabat Ukraina karena Rampas Bendera Ukraina
Baca: Turkiye Kembali Diguncang Gempa Besar, Berkekuatan M 6,4, Tewaskan 3 Orang
Sebaliknya, kemenangan Erdogan akan memperkuat citranya yang tak terkalahkan, setelah dia mengubah kebijakan domestik, ekonomi, keamanan, dan luar negeri di negara anggota NATO berpenduduk 85 juta orang itu.
Sebagaimana dikutip dari Reuters, dalam pidato kemenangan di Ankara, Erdogan berjanji untuk meninggalkan semua perselisihan dan bersatu di belakang nilai-nilai dan impian nasional.
Tetapi, dia kemudian menyerang oposisi dan menuduh Kilicdaroglu berpihak pada teroris tanpa memberikan bukti.
Dia mengatakan, pembebasan mantan pemimpin partai pro-Kurdi Selahattin Demirtas, yang dia cap sebagai "teroris," tidak akan mungkin dilakukan di bawah pemerintahannya.
Erdogan mengatakan inflasi adalah masalah paling mendesak di Turkiye.
Sementara itu, Kemal Kilicdaroglu menyebut Pilpres kali ini sebagai Pemilu yang paling tidak adil dalam beberapa tahun terakhir. Namun, dia tidak membantah hasilnya.
Kekalahan Kilicdaroglu kemungkinan akan diratapi oleh sekutu Turkiye di NATO yang khawatir dengan hubungan Erdogan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Putin sendiri dilaporkan telah mengucapkan selamat kepada "sahabatnya" itu atas kemenangan di Pilpres Turkiye 2023.
Presiden AS Joe Biden menulis di Twitter, "Saya berharap dapat terus bekerja sama sebagai Sekutu NATO dalam masalah bilateral dan berbagi tantangan global".
Sebagian artikel ini telah tayang di Tribun Kaltim dengan judul Profil Erdogan Menang Pemilu, Presiden Turkiye 3 Periode, Pernah Dipenjara hingga Alami Kudeta