Diketahui, MM harus membayar denda adat sebesar Rp 1,8 miliar.
Dilansir Kompas.com, Kepala Lembaga Adat Besar, Kutai Barat, Manar Dimansyah mengatakan, pihaknya memberi waktu enam bulan untuk menyelesaikan denda itu.
“Jika dalam waktu enam bulan tak dapat merealisasikan itu maka diharap koordinasi lembaga adat untuk membicarakan hal-hal lebih lanjut," ungkapnya saat dihubungi Kompas.com, Senin (15/2/2021).
“Saya tegaskan bahwa tidak ada pengusiran untuk menepis semua informasi yang berkembang. Jika tak mampu membayar diharap hadap lembaga adat untuk membicarakan lebih lanjut,” imbuhnya.
Manar menghintung total denda dari denda membayar 4.120 buah antang atau guci senilai Rp 1,6 miliar dengan harga satuan ditaksir Rp 400.000 per buah.
Selain guci, pelaku juga didenda untuk membiayai ritual kematian senilai Rp 250 juta. Sehingga jika ditotal keseluruhannya menjadi Rp 1,8 miliar.
Baca: Kaya Mendadak, Sopir Truk Temukan Mutiara Melo Langka Seharga Rp5 Miliar saat Makan Siput Laut
Menurutnya, bagi orang Dayak, membunuh orang akan dikenakan hukum Adat Bolit Mate Nawar Uman.
"Bagi orang Dayak menghilangkan nyawa orang itu dikenakan hukum Adat Bolit Mate Nawar Uman. Standar bayar pakai guci atau antang,” terangnya.
Sementara itu, upacara kematian bagi orang Dayak dimaksudkan agar arwah korban harus diantar ke tempat peristirahatan yang paling baik.
“Karena itu, perlu diadakan upacara itu,” lanjut dia.
Sebelumnya, pelaku membunuh korban di rumahnya di Kampung Sumber Sari, Kecamatan Barong Tongkok, Kutai Barat, Senin (1/2/2021).
Motif pembunuhan dilatarbelakangi pelaku kesal saat korban menolak diajak berhubungan badan.
Baca: Survei BPS Ungkap Fakta Mengejutkan, Rokok dan Kopi Bikin Kemiskinan di Banten Meningkat
Setelah pembunuhan, di hari yang sama, Polres Kutai Barat langsung bergerak cepat untuk menangkap pelaku.
Selain pelaku, Polres Kutai Barat juga berkoordinasi dengan Kepala Adat Dayak untuk mengambil langkah-langkah demi meredakan suasana.
Kapolres Kutai Barat AKBP Irwan Yuli Prasetyo mengungkapkan, untuk meredam massa, langsung diadakan sidang adat sesuai tatanan hukum adat yang dilanggar pelaku.
“Kita langsung ketemu dengan tokoh-tokoh adat, karena sudah berkembang isu SARA. Salah satu cara meredam adalah langsung diadakan sidang adat sesuai norma atau tatanan hukum adat yang dilanggar pelaku,” terang Irwan saat dihubungi Kompas.com.
Menurut Irwan, selain upaya merangkul para tokoh adat, isu-isu provokatif juga berkembang liar di media sosial.
Maka dari itu, polisi mengambil langkah untuk meredamnya.