Setelah Telepon Xi Jinping, Joe Biden Panik, Khawatir Infrastruktur AS Kalah dari China

Penulis: Ahmad Nur Rosikin
Editor: Archieva Prisyta
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden AS Joe Biden mengambil sumpah presiden selama upacara virtual di Ruang Makan Negara Gedung Putih di Washington, DC, setelah dilantik di US Capitol pada 20 Januari 2021.

Dengan modal awal 5 miliar dollar AS (Rp70 triliun), di mana 1 miliar dollar AS (Rp14 triliun) berasal dari APBN.

Sisanya, 4 miliar dollar AS (Rp56 triliun), akan diperoleh dari pengaluhan ekuitas dan aset perusahaan milik negara.

Diharapkan Indonesia akan memiliki dana untuk INA hingga 20 miliar dollar AS (Rp280 triliun).

Lima organisasi pengelola dana asing telah berjanji atau menjamin untuk menginvestasikan sejumlah 9,8 miliar dollar AS untuk INA.

Tetapi dari jumlah tersebut, tidak ada organisasi atau perusahaan Tiongkok sebagai investor.

Baca: Bantuan Covid Diambil Lagi Diduga untuk Pembangunan Masjid, DPRD Cianjur Panggil Kepala Desa

Baca: Viral Proyek Jembatan Bambu di Ponorogo Habiskan Rp 200 Juta, Pemkab: Pembangunan Belum Selesai

ILUSTRASI - Foto udara kawasan proyek reklamasi Teluk Jakarta (bawah) di Pantai Utara Jakarta, Selasa (5/12/2017). Pemerintah pusat resmi mencabut penghentian sementara (moratorium) pembangunan Pulau C, D, dan G Reklamasi Teluk Jakarta pada 5 Oktober 2017, dengan demikian pembangunan reklamasi Teluk Jakarta dilanjutkan. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Menurut Kevin O'Rourke, analis politik dan kebijakan di Indonesia, fakta bahwa China dikecualikan dari daftar investor untuk dana INA menimbulkan kecurigaan.

Indonesia berusaha menghindari investasi di China karena kekhawatiran bahwa Beijing dapat mengontrol infrastruktur vital Jakarta.

"Ada asumsi bahwa alasan yang mendasari Indonesia berusaha untuk mempertahankan operasi infrastruktur milik negara adalah ketakutan bahwa Beijing akan 'mengambil alih' infrastruktur. Salam," kata O'Rourke.

Menurut Badan Penanaman Modal Indonesia (BKPM), China merupakan investor asing terbesar kedua pada tahun 2020, dengan jumlah investasi sebanyak 4,8 miliar dollar AS (Rp67 triliun).

Setelah China diikuti oleh Hong Kong dan Jepang dengan nilai masing-masing sebesar 3,5 miliar dollar AS (Rp49 triliun) dan 2,6 miliar dollar AS (Rp36 triliun).

Singapura menempati peringkat pertama dengan 9,8 miliar dollar AS (Rp137 triliun).

Baca: Bermula dari Twitter, Susi Pudjiastuti Dituding Lawan Presiden Jokowi, Eks Menteri KKP Klarifikasi

FOTO HANYA ILUSTRASI - Pembangunan RS khusus pasien virus Corona di Pulau Galang. (Dokumen Kementerian PUPR)

Dari 2015 hingga kuartal ketiga 2020, investasi China di Indonesia meningkat tajam.

Termasuk lebih dari 10.000 proyek mulai dari proyek infrastruktur hingga operasi pertambangan.

Oleh karena itu, fakta bahwa tidak ada investor China di dana INA dianggap suatu kejutan.

Esther Sri Astuti, Ekonom Institute for Economic and Financial Development yang berbasis di Jakarta, mengatakan banyaknya proyek investasi yang dimiliki China di Indonesia menjadi salah satu penyebabnya.

Beijing tidak memiliki akses untuk berinvestasi di INA.

Baca: Walhi Sebut Pembangunan Jurassic Park Menciptakan Neraka bagi Komunitas Komodo

Baca: Proyek Pembangunan di Pulau Rinca Jadi Sorotan, Kementerian LHK: Tidak Membahayakan Populasi Komodo

"Indonesia ingin mendiversifikasi portofolionya untuk mengurangi risiko dan mendapatkan lebih banyak investasi dengan mendekati lebih banyak negara, tidak hanya bergantung pada China," kata Esther.

Menurut O'Rourke, INA didirikan untuk mempertahankan kendali atas aset negara dan proyek infrastruktur penting.

Indonesia berencana menghabiskan lebih dari 6.400 triliun rupiah untuk proyek infrastruktur pada tahun 2024, dikutip dari 24h.com.vn.

Di mana 30% dari uang ini berasal dari anggaran negara dan sisanya dari bisnis asing dan didanai swasta.

(TribunnewsWiki.com/Ahmad Nur Rosikin) (Intisari/Afif Khoirul M)

Sebagian artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul Media China Keheranan, Indonesia Berniat Himpun Dana Untuk Pembangunan Besar-Besaran, Tetapi Tak Ada Satupun Perusahaan China di Dalamnya



Penulis: Ahmad Nur Rosikin
Editor: Archieva Prisyta
BERITA TERKAIT

Berita Populer