Kewajiban pengangkatan status karyawan setelah melalui masa kontrak dan perpanjangan kontrak PKWT dilakukan karena perusahaan hanya diperkenankan membuat PKWT satu kali untuk satu orang karyawan (karyawan kontrak).
Ketika sudah lewat 2 tahun atau diperpanjang kembali untuk 1 tahun, perusahaan hanya memiliki dua pilihan, yaitu tidak memperpanjang kontrak kerja atau mengangkatnya sebagai karyawan tetap.
"Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun," bunyi Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003.
Sementara di RUU Cipta Kerja, pasal PKWT di UU Nomor 13 Tahun 2003 dihapus. Konsekuensi dari hilangnya pasal tersebut yakni perusahaan tidak lagi memiliki batasan waktu untuk melakukan perjanjian kontrak kerja dengan pekerjanya.
Baca: Picu Gelombang Demo Buruh di Tengah Pandemi Covid-19, UU Cipta Kerja Indonesia Disorot Media Asing
"Ketentuan Pasal 59 dihapus," bunyi RUU Cipta Kerja yang sudah disahkan menjadi UU Cipta Kerja.
Perusahaan pemberi kerja bisa terus memperbaharui kontrak karyawannya tanpa perlu mengangkatnya menjadi karyawan tetap.
Dengan kata lain, UU Cipta Kerja akan mengizinkan perusahaan mengontrak karyawan atau pekerja atau buruh sebagai karyawan kontrak seumur hidup.
Aturan terbaru di omnibus law Cipta Kerja ini berlaku untuk seluruh perusahaan yang beroperasi di Indonesia, baik buruh pabrik, industri manufaktur, maupun pekerja kantoran.
Sebelumnya, menurut Ketua Departemen Komunikasi dan Media Komite Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S. Cahyono, dengan dihapusnya pasal tersebut, maka penggunaan pekerja kontrak yang dalam undang-undang disebut perjanjian kerja waktu tertentu bisa diperlakukan untuk semua jenis pekerjaan.
"Dengan dihapuskannya pasal 59, tidak ada lagi batasan seorang pekerja bisa dikontrak. Akibatnya, bisa saja seorang pekerja dikontrak seumur hidup," kata Kahar dalam keterangan resminya.
Baca: 10.000 Anggota Serikat Pekerja Metal di Depok Tolak Keras UU Omnibus Law Cipta Kerja
Padahal, kata dia, dalam UU Ketenagakerjaan pekerja kontrak hanya dapat digunakan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, seperti pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, dan paling lama tiga tahun.
Selanjutnya, pasal tersebut juga mengatur pekerjaan yang bersifat musiman atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Selain itu, pekerja kontrak tidak dapat digunakan untuk jenis pekerjaan yang bersifat tetap.
Dengan demikian, berdasarkan pasal ini, selain pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu harus menggunakan pekerja tetap.
Padahal dalam pasal 59 UU Ketenagakerjaan, juga mengatur pekerja kontrak hanya dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Setelah itu, bisa dilakukan pembaharuan sebanyak satu kali untuk jangka waktu paling lama dua tahun.
"Jika omnibus law disahkan, maka perusahaan akan cenderung mempekerjakan buruhnya dengan sistem kontrak kerja. Tidak perlu mengangkat menjadi pekerja tetap," ujar dia.
Lantaran menggunakan pekerja kontrak, maka dipastikan tidak ada lagi pesangon.
Karena pesangon hanya diberikan kepada pekerja yang berstatus sebagai karyawan tetap. Selain tidak ada lagi kepastian kerja, secara tidak langsung pesangon juga akan hilang.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Nasib Karyawan Outsourcing di UU Cipta Kerja"