UU Cipta Kerja Disahkan, Bagaimana Nasib Pekerja Kontrak dan Outsourcing?

Penulis: Febri Ady Prasetyo
Editor: Putradi Pamungkas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Massa yang terdiri dari mahasiswa dan anak muda melakukan aksi jalan kaki menutup ruas jalan flyover Pasupati, Kota Bandung, Selasa (6/10/2020). Aksi tersebut mereka lakukan dalam rangka menolak Rancangan UU (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat paripurna.

TRIBUNNEWSWIKI.COM - RUU Cipta Kerja tetap disahkan dalam rapat paripurna DPR, Senin (5/10/2020), meski mendapat banyak penolakan dari berbagai unsur masyarakat.

Ada sejumlah pasal dalam UU Cipta kerja yang menuai kontroversi dan dinilai merugikan para pekerja.

Pasal yang terkait dengan aturan pekerja outsourcing atau alih daya menjadi salah satu di antara pasal yang disorot.

Aturan mengenai pekerja outsourcing yang tercantum dalam Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan direvisi dalam UU Cipta Kerja.

Dalam Nomor 13 Tahun 2003, pekerja alih daya dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan penunjang.

Baca: Sudah Disahkan, Apakah UU Cipta Kerja Bisa Dibatalkan?

Ratusan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Provinsi Jawa Tengah melakukan demo di depan halaman Kantor Dewan Provinsi Jateng yang intinya 'Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja' yang justru isinya mendegradasi kesejahteraan buruh, Selasa (25/08/20) (TRIBUN JATENG/HERMAWAN HANDAKA)

"Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi," demikian bunyi Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003.

Sementara di Pasal 66 UU Cipta Kerja, tak dicantumkan lagi batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dilarang dilakukan oleh pekerja alih daya.

Dengan revisi ini, UU Cipta Kerja membuka kemungkinan bagi perusahaan outsourcing untuk mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh waktu.

Hal ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas jika tak ada regulasi lain turunan dari UU Cipta Kerja.

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, tak menjelaskan secara spesifik apakah batasan pekerjaan outsourcing masih dibatasi atau diperluas dalam UU Cipta Kerja.

Baca: 8 Poin UU Cipta Kerja yang Jadi Kelebihan Menurut Pemerintah Sekaligus Jadi Sorotan Buruh

Anggota DPR RI Fraksi Demokrat Marwan Cik Hasan menyerahkan berkas pendapat akhir Fraksi Demokrat kepada Ketua DPR Puan Maharani saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Dalam penjelasannya terkait revisi pasal outsourcing di UU Cipta Kerja, Ida hanya mengatakan kalau perubahan terjadi pada prinsip pengalihan perlindungan.

"Syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja dalam kegiatan alih daya atau outsourcing masih tetap dipertahankan. Bahkan dalam kegiatan alih daya UU ini memasukkan prinsip pengalihan perlindingan hak bagi pekerja apabilaa terjadi pergantian perusahaan alih daya," kata Ida dalam keterangan resminya.

Karyawan kontrak

Pasal krusial yang juga kontroversial dalam omnibus law Cipta Kerja adalah dihapuskannya Pasal 59 dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam pasal tersebut, UU Ketenagakerjaan melindungi pekerja atau buruh yang bekerja di suatu perusahaan agar bisa diangkat menjadi karyawan tetap setelah bekerja dalam periode maksimal paling lama 2 tahun, dan diperpanjang 1 kali untuk 1 tahun ke depan.

Baca: Omnibus Law UU Cipta Kerja Pangkas Sejumlah Hak Pekerja: Libur Pekerja 2 Hari Seminggu Dihapus

"Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu," bunyi Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003. Pasal UU Nomor 13 Tahun 2003 tersebut secara eksplisit mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau yang biasa disebut dengan PKWT.

Ratusan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Provinsi Jawa Tengah melakukan demo di depan halaman Kantor Dewan Provinsi Jateng yang intinya 'Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja' yang justru isinya mendegradasi kesejahteraan buruh, Selasa (25/08/20) (TRIBUN JATENG/HERMAWAN HANDAKA)

PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha atau perusahaan untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk jenis pekerjaan tertentu.

Dalam perjanjian PKWT juga mengatur kedudukan atau jabatan, gaji atau upah pekerja, tunjangan serta fasilitas apa yang didapat pekerja dan hal-hal lain yang bersifat mengatur hubungan kerja secara pribadi.

Kewajiban mengangkat karyawan tetap dihapus Perusahaan hanya bisa melakukan kontrak kerja perjanjian PKWT paling lama 3 tahun.

Setelah itu, perusahaan diwajibkan untuk mengangkat pekerja atau buruh sebagai karyawan tetap jika ingin mempekerjakannya setelah lewat masa 3 tahun.

Baca: Beberapa Pasal tentang Pesangon Hilang dalam UU Cipta Kerja, Pemerintah Beri Penjelasan

Halaman
12


Penulis: Febri Ady Prasetyo
Editor: Putradi Pamungkas
BERITA TERKAIT

Berita Populer