Antara lain, buruh menuntut upah minimum kota (UMK) tanpa syarat dan upah minimum sektoral kota (UMSK) tidak dihilangkan.
Selain itu, buruh meminta nilai pesangon tidak berkurang. Buruh juga menolak adanya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak seumur hidup.
Kemudian, buruh juga menolak adanya outsourcing seumur hidup, waktu kerja yang eksploitatif, serta hilangnya cuti dan hak upah atas cuti.
Buruh juga menuntut karyawan kontrak dan outsourcing harus mendapatkan jaminan kesehatan dan pensiun. "Sementara itu, terkait dengan PHK, sanksi pidana kepada pengusaha dan TKA harus tetap sesuai dengan isi UU No 13 Tahun 2003," terang Said.
Baca: Disahkan, Ini Sejumlah Pasal Kontroversial Omnibus Law UU Cipta Kerja yang Banyak Dapat Sorotan
Sikap penolakan juga ditunjukkan kalangan akademisi yang berasal dari 30 perguruan tinggi.
Para akademisi ini menolak UU Cipta Kerja karena menabrak banyak aturan, bahkan nilai-nilai Pancasila.
"Aturan itu tidak hanya berisikan pasal-pasal bermasalah di mana nilai-nilai konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila dilanggar bersamaan, tetapi juga cacat dalam prosedur pembentukannya," demikian petikan pernyataan para akademisi.
Dalam pandangan para akademisi ini, setidaknya ada lima permasalahan mendasar dalam UU Cipta Kerja.
Baca: DPR Sahkan RUU Cipta Kerja Jadi UU, Ini Berbagai Manfaatnya Menurut Pemerintah
Pertama, masalah sentralisasi yang dianggap menyerupai kondisi Orde Baru. Sebab, terdapat hampir 400-an pasal yang menarik kewenangan kepada Presiden melalui pembentukan peraturan Presiden.
Kedua, UU Cipta Kerja anti-lingkungan hidup di mana terdapat pasal-pasal yang mengabaikan semangat perlindungan lingkungan hidup, terutama terhadap pelaksanaan pendekatan berbasis risiko serta semakin terbatasnya partisipasi masyarakat.
Ketiga, persoalan liberalisasi pertanian. Dalam aturan tersebut, tidak ada lagi perlindungan petani ataupun sumber daya domestik. Keempat, persoalan pengabaian hak asasi manusia (HAM).
Pada pasal-pasal tertentu hanya mengedepankan prinsip semata-mata keuntungan bagi pebisnis, sehingga abai terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, terutama perlindungan dan pemenuhan hak pekerja, hak pekerja perempuan, hingga hak warga.
Kelima, mengabaikan prosedur pembentukan UU. Sebab, konsep omnibus law tidak diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Baca: Jika RUU Cipta Kerja Disahkan, Apakah Buruh Akan Dibayar Lebih Rendah?
Akademisi pun mempertanyakan pengesahan UU Cipta Kerja yang dibentuk tidak sesuai prosedur.
Terlebih lagi, seluruh proses pembentukan hukum ini dilakukan di masa pandemi, sehingga sangat membatasi upaya memberi aspirasi untuk mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Hingga Senin (5/10/2020) pukul 17.30 WIB, sebanyak 67 akademisi membubuhkan tanda tangan penolakan. Akademisi terebut antara lain Hariadi Kartodihardjo dari Institut Pertanian Bogor, Muhammad Fauzan dari Fakultas Hukum Universitas Soedirman, Susi Dwi Harijanti dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Abdil Mughis Mudhoffir, sosiolog Universitas Negeri Jakarta, hingga Feri Amsari dari Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menilai, UU Cipta Kerja mengandung banyak permasalahan, mulai dari proses penyusunan hingga pasal-pasal yang menghilangkan hak-hak pekerja.
"Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang oleh DPR tentunya sangat disayangkan, mengingat UU Cipta Kerja memiliki banyak permasalahan mulai dari proses penyusunan hingga substansi di dalamnya," kata Araf dalam keterangan tertulis, Senin.