Baru-baru ini, sebuah laporan mengatakan bahwa Korea Utara diyakini memiliki 60 bom nuklir.
Tak hanya itu, Korea Utara juga dikatakan memiliki senjata kimia terbesar ke-tiga di dunua.
Senjata kimia yang dimaksud memiliki total sekira 5.000 ton.
Data tersebut dirilis oleh Markas Besar Angkatan Darat AS dalam laporannya, seperti yang dikutip dari Yonhap.
Dalam laporan yang diberi judul 'Taktik Korea Utara' yang diterbitkan Juli lalu, Pyongyang tak mungkin menyerahkan senjata-senjata itu.
Karena senjata-senjata itulah yang akan digunakan Korea Utara untuk tetap hidup.
Baca: Korea Selatan Kembangkan Sistem Pertahanan Mirip Iron Dome Israel untuk Hadapi Ancaman Korea Utara
Baca: Korea Utara Dilanda Banjir dan Kesulitan Ekonomi, Kim Jong Un Bakal Kumpulkan Anggota Partai Buruh
"Diprakirakan Korea Utara memiliki 20-10 bom dan mampu memproduksi 6 senjata baru per tahunnya," kata laporan militer AS.
Dengan demikian, Korea Utara bisa saja memiliki 100 bom di akhir 2020.
"Korea Utara 'mengandalkan' senjata nuklir karena pimpinannya menganggap serangan nuklir bisa mencegah negara lain melakukan intervensi terutama dalam mengubah rezim," kata laporan itu.
Berdasarkan catatan pada laporan yang sama, Korea Utara juga mencegah adanya kasus Muammar Gaddafi di Libya terjadi di Korea Utara.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa Korea Utara saat ini memiliki 2.500-5.000 ton senjata kimia.
Jumlah tersebut terbagi menjadi 20 tipe senjata.
Dengan angka tersebut, Korea Utara diyakini menjadi negara dengan senjata kimia terbesar ke-tiga di dunia.
Militer AS juga yakin bahwa Korea Utara tak akan ragu memakai senjata kimia tersebut jika dibutuhkan.
Sejauh ini, pemerintahan Kim Jong Un juga telah melakukan penelitian terkait dengan senjata biologi.
Beberapa senjata mungkin telah 'diisi' oleh penyakit sejenis campak atau antraks.
Mereka bisa dipasang di atas rudal dan digunakan untuk menterang Korea Selatan, Amerika Serikat dan Jepang.
"(Mereka) hanya membutuhkan 1 kilogram antraks untuk membunuh hingga 50.000 orang di Seoul, Korea Selatan," bunyi laporan itu.
Cyber Warfare Guidance Unit atau dikenal dengan Bureau 121 juga turut memberikan laporan.