Di mana satu di antaranya mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai.
Klausul tersebut sebelumnya tidak dimuat dalam UU Ketenagakerjaan.
Pada Pasal 61A juga menerangkan ketentuan pengusaha wajib memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir.
Hal tersebut sebab berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja dan selesainya pekerjaan.
Aturan mengenai perjanjian kerja dalam RUU Cipta Kerja dinilai akan merugikan pekerja sebab relasi kuasa timpang dalam pembuatan kesepakatan.
Jangka waktu kontrak juga ada di tangan pengusaha.
Hal ini tak menutup kemungkinan para karyawan akan berstatus kontrak abadi.
Hal ini juga mencakup, adanya PHK yang bisa dilakukan kapan pun sekehendak pengusaha dengan catatan memberi kompensasi sesuai ketentuanpasal 61A yang dalam UU Ketenagakerjaan tidak ada.
Ada dua poin yang kelak bisa mempengaruhi pengupahan para pekerja kantor yang ada dalam RUU Cipta Kerja.
Sebagai contoh adanya pasal Pasal 88 B RUU Cipta Kerja.
Pada pasal ini diterangkan standar pengupahan berdasarkan waktu.
Menurut pasal tersebut, satuan waktu dan satuan hasil menjadi ketentuan pengupahan.
Banyak yang berpendapat, adanya skema baru pengupahan ini menjadi dasar perusahaan mengadakan hitungan perjam untuk upah karyawan.
Selanjutnya ada Pasal 88, ini narasinya:
(1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman.
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.
Banyak pihak khawatir lewat poin ini pemerintah sedang berusaha menghilangkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Termasuk upah minimum sektoral.
Baca: Hari Buruh di Tengah Pandemi Corona, Serikat Buruh DIY Tolak Dilanjutkannya RUU Cipta Kerja