"Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan, tetapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja artinya cacat permanen, sehingga unsur dakwaan primer tidak terpenuhi," kata jaksa.
Namun, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai, alasan Jaksa memberi tuntutan ringan tak masuk akal.
"Argumentasi Jaksa yang menyatakan ketidaksengajaan pelaku untuk menyiram mata Novel sebagai dasar menuntut rendah merupakan penghinaan terhadap akal sehat," kata peneliti PSHK, Giri Ahmad Taufik.
Giri mengatakan, kesengajaan seharusnya dibuktikan dengan unsur mengetahui dan menghendaki.
Adanya unsur perencanaan dalam proses tindak pidana dan pengunaan air keras telah mengindikasikan adanya kesadaran dari pelaku bahwa menyiramkan air keras kepada seseorang pasti akan menyebabkan luka berat pada tubuh.
Giri menilai, tuntutan minimal Jaksa kepada pelaku penyerangan Novel telah mencederai rasa keadilan tidak hanya bagi Novel dan keluarganya, tetapi juga bagi masyarakat.
Tuntutan penjara 1 tahun dinilai tidak berdasarkan pada hukum dan fakta yang terungkap.
Tuntutan itu juga dianggap mengabaikan fakta motif terkait dengan ketidaksukaan terhadap Novel sebagai penyidik KPK yang membongkar kasus korupsi di institusi Kepolisian.
"Tuntutan dengan pidana rendah telah memberikan preseden yang kontraproduktif terhadap perlindungan aparat penegak hukum Indonesia, yang berpotensi melahirkan kekerasan-kekerasan lainnya bagi aparat penegak hukum, utamanya pegawai KPK," ujar Giri.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tuntutan Ringan Penyerang Novel Baswedan dan Istana yang Akhirnya Buka Suara"