Belajar Kasus Prancis vs Amazon, Indonesia Harus Cermat Jika Ingin Pungut Pajak Google dan Facebook

Penulis: Haris Chaebar
Editor: Putradi Pamungkas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Google Chrome.

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani berkali-kali mengeluarkan ide untuk memungut pajak digital.

Beberapa perusahaan ternama seperti Google atau Facebook pun disebut-sebut sedang dalam bidikan untuk dipungut pajaknya.

Terlebih, saat ini Indonesia juga telah mengetatkan anggaran terkait pandemi Covid-19 yang sangat berdampak pada ekonomi secara luas.

Meski begitu, menarik pajak dari perusahaan, terlebih entitas asing tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Mengingat terdapat lobi-lobi politik pula didalamnya.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) pun belum buka suara ihwal aturan pungutan pajak digital yang berkali-kali dilontarkan oleh Sri Mulyani tersebut.

Apalagi, setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengekspresikan keberatannya kebijakan pemungutan pajak untuk perusahaan yang berasal dari negaranya.

Google, perusahaan asing yang pajaknya dibidik oleh Indonesia. (9to5google.com)

Seperti diketahui, tak hanya Indonesia, Trump juga keberatan atas pungutan pajak digital dari sejumlah negara seperti Inggris, Spanyol, Austria, Republik Ceko, Brasil, India, dan Turki.

Sebagai tindak lanjut permintaan Trump, United States Trade Representative (USTR) mengancam akan menjalankan investigasi ke negara-negara tersebut.

Baca: Terinspirasi Donald Trump, Presiden Brasil Ancam Keluar dari WHO karena Tak Tahan Terus Diintervensi

Baca: Gara-Gara Netflix dan Zoom, Presiden AS Donald Trump Marah Terhadap Pemerintah Indonesia, Ada Apa?

Baca: Membangkang dari Donald Trump, Menteri Pertahanan AS Tolak Kerahkan Militer Atasi Demonstrasi

AS mengklaim, pajak transaksi elektronik (PTE) saat ini cenderung tak adil dan diskriminatif terhadap perusahaan digital asal Negeri Paman Sam.

Jika hasil investigasi menemukan pemungutan pajak yang diskriminatif, AS mengancam tidak segan untuk melakukan tarif pembalasan yang bakal diterapkan sebelum pengujung tahun 2020.

Menghadapi ancaman dari AS, Pemerintah Indonesia belum bersikap ihwal kelanjutan pajak digital. Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol tak menanggapi saat dikonfirmasi terkait hal ini.

Yang jelas per 1 Juli 2020, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/2020 yang menjadi payung hukum pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% atas nilai barang jasa digital mulai berlaku.

Ditjen Pajak memperkirakan, pungutan PPN paling cepat dilakukan pada Agustus 2020.

John sebelumnya juga menyebut bahwa setelah berhasil menarik PPN, otoritas pajak akan paralel mengenakan pajak penghasilan (PPh) atau PTE perusahaan digital.

PTE menjadi jenis pajak baru yang berbeda dengan PPh.

Ilustrasi Youtube (TribunWow.com/Rusintha Mahayu)

Hanya saja, pemerintah masih menunggu konsensus global terkait nasib pajak digital.

Sayangnya, konsensus tersebut diperkirakan molor dari waktu yang dijadwalkan berlangsung pada bulan ini.

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menilai, pelaksanaan PMK 48/2020 tidak akan dipermasalahkan oleh AS. Sebab, PPN dalam lintas yurisdiksi, sudah memiliki konsensus global yang merujuk pada destination principle.

Sedangkan untuk PPh, memang belum ada konsensus globalnya sehingga mendorong berbagai aksi unilateral, termasuk melalui skema digital services tax (DST).

Baca: Pemerintah Siap Tarik Pajak Netflix, Spotify, dan Layanan Streaming Lain Paling Cepat Agustus 2020

Baca: Ketok Palu, Sri Mulyani Bakal Tarik Pajak Platform Digital, Mulai dari Netflix hingga Amazon

Baca: Mulai April 2020, Karyawan dengan Gaji hingga 16 Juta Tak Perlu Bayar Pajak Penghasilan

Adapun DST, hanya ditargetkan pada perusahaan digital yang memiliki peredaran bruto global tertentu yang kemudian menyasar mayoritas perusahaan digital dari AS.

Halaman
123


Penulis: Haris Chaebar
Editor: Putradi Pamungkas
BERITA TERKAIT

Berita Populer