"Dan minimal 2/3 dari jumlah itu menyetujuinya (UU MD3, pasal 210 ayat 1 dan 3).
Bila keputusannya disetujui, kata dia, maka wajib dibentuk Panitia Khusus (Pansus) yang anggotanya terdiri dari semua unsur fraksi di DPR (UU MD3, pasal 212 ayat 2).
"Setelah Pansus bekerja selama paling lama 60 hari, hasilnya kemudian dilaporkan dalam rapat paripurna DPR," ucap Hasanuddin.
Ia menegaskan, keputusan DPR atas laporan Pansus dianggap sah bila anggota yang hadir minimal 2/3 dari jumlah seluruh anggota DPR.
Dan, disetujui oleh 2/3 anggota yang hadir (UU MD3, Pasal 213 ayat 1 dan Pasal 214 ayat 4) .
Persetujuan DPR ini selanjutnya dilaporkan ke Mahkamah Konstitusi (MK), disertai bukti dan dokumentasi pelengkapnya.
"MK kemudian bersidang."
Baca: Jokowi dan Menkominfo Divonis Bersalah, Ini Tanggapan Stafsus Presiden dan Johnny G Plate
"Dan bila MK menyatakan terbukti, maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (UU MD3, Pasal 215 ayat 1)," jelasnya.
Setelah itu, MPR lalu melakukan sidang paripurna untuk memutuskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR.
Hasanuddin mengatakan, keputusan MPR terhadap pemberhentian tersebut dinyatakan sah apabila diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota.
Dan, disetujui oleh paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota yang hadir (UU MD3, pasal 38 ayat 3).
"Melihat komposisi koalisi fraksi-fraksi pendukung Presiden di DPR, rasanya seperti mimpi di siang bolong kalau kemudian ada yang bercita-cita melengserkan Presiden pilihan rakyat," paparnya.
Bila kemudian ada aspirasi menurunkan Presiden lewat aksi anarkis di jalanan, Hasanuddin menegaskan hal tersebut melanggar UU, bahkan dapat dikenakan tindakan pidana makar.
"Inilah demokrasi yang kita sepakati dan menjadi kesepakatan nasional."
"Diskusi ilmiah dengan norma akademis mengenai pemakzulan boleh-boleh saja, karena dijamin menurut undang-undang."
"Tapi kalau aksi anarkis minta Presiden diturunkan di jalanan, itu telah melanggar ketentuan," bebernya.
Sebelumnya, mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Constitutional Law Society (CLS) mengadakan diskusi bertema 'Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.
Namun, diskusi yang semula dijadwalkan diselenggarakan pada Jumat 29 Mei di Universitas Gadjah Mada itu, dibatalkan.
Pembatalan itu karena dari pembicara hingga moderator mendapat ancaman dari sejumlah orang.
Berbagai teror dan ancaman dialami pembicara, moderator, narahubung, serta ketua komunitas 'Constitutional Law Society' (CLS).