Sugeng tak memungkiri terjadi kesalahpahaman di antara petugas yang menangani jenazah PDP tersbeut.
"Pasien (Covid-19) nonreaktif, tetapi kondisinya memang ada pneumonia.
Pada tanggal 19 Mei, kondisi memburuk terus meninggal.
Rencana mau dilakukan uji swab, tapi keburu meninggal," kata Sugeng, Jumat (22/5/2020).
Masalah itu muncul karena petugas rumah sakit yang menangani jenazah pasien itu memakai aturan lama.
Padahal, dalam aturan terbaru disebutkan bahwa biaya pemulasaraan jenazah PDP bisa diklaim.
Dalam aturan lama, biaya jenazah pasien yang belum terkonfirmasi Covid-19 tidak ditanggung negara.
Biaya Rp 3 juta itu digunakan untuk pengadaan peti jenazah, plastik, dan kebutuhan lainnya.
Selain kesalahpahaman petugas, pertengkaran itu juga terjadi karena pihak keluarga tak kuasa mengontrol emosi.
"Masalah yang ramai itu adalah masalah uang.
Sesuai SE Nomor 6, (biaya pemulasaraan jenazah) untuk pasien PDP bisa diklaim.
Nah, personelnya (petugas) tidak paham, jadi masih menerapkan SE yang lama," kata Sugeng.
Menurut Sugeng, uang sebesar Rp 3 juta itu hanya sebagai jaminan.
Keesokan harinya, petugas rumah sakit itu berkonsultasi dengan atasannya.
Atasannya pun membenarkan biaya pemulasaraan jenazah PDP ditanggung negara.
Baca: Jepang Cabut Status Darurat Covid-19 di Tiga Daerah, Tokyo dan Hokkaido Masih Dipantau Pemerintah
Baca: Mall dan Jalanan Mulai Ramai Jelang Lebaran, Penggali Kubur Covid-19 Merasa Prihatin
Namun, petugas itu tak langsung mengembalikan uang kepada keluarga pasien.
Petugas itu menunggu keluarga pasien datang ke rumah sakit.
"Pada pagi harinya, dia (petugas) konfirmasi kepada atasannya, tapi belum sempat mengembalikan uangnya.
Kesalahpahaman lagi, petugasnya menunggu keluarga datang.
Karena saling menunggu, akhirnya meletus itu," ujar Sugeng.