Akan tetapi para pakar dan pejabat memperingatkan mungkin ada peningkatan jumah kasus bunuh diri.
Diberitakan TribunnewsWiki.com dari The Japan Times, faktanya Covid-19 berdampak pada mata pencaharian dan kesehatan mental banyak orang di seluruh negara.
Pandemi telah merampas pekerjaan mereka dan meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga hingga pelecehan anak.
Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya kelompok pencegahan bunuh diri yang mendapati diri mereka di ambang disfungsi.
Pandemi membuat organisasi mereka dipaksa untuk berhemat dan menunda kegiatan karena virus.
Baca: Laju Penularan Berkurang, Jepang Cabut Status Darurat Covid-19 di Sebagian Besar Wilayah
Statistik bulanan kementerian menunjukkan jumlah kasus bunuh diri pada bulan April mencapai 1.455, turun 19,8 persen dari angka 1.814 tahun sebelumnya.
Angka ini menandai penurunan terbesar dalam lima tahun.
Kemudian muncul spekulasi turunnya angka ini disebabkan karena ditutupnya sekolah dan dimulainya kebiasaan bekerja serta komunikasi jarak jauh.
Hal ini membuat orang-orang relatif tidak tertekan dari tugas yang berat.
"Sangat mungkin bahwa coronavirus tidak berperan kecil dalam menyebabkan" penurunan itu, kata seorang pejabat kementerian.
Namun, ia menekankan, hal itu masih memerlukan pengawasan dan penelitian lebih lanjut.
Yasuyuki Shimizu, yang mengelola Lifelink, organisasi pencegahan bunuh diri nirlaba yang berbasis di Tokyo, setuju.
Solidaritas Bencana, Kesendirian, dan Bunuh Diri
Baca: Pertimbangkan Keselamatan dan Pendapatan, Industri Seks di Jepang Pilih Tetap Buka di Tengah Pandemi
Shimizu, bagaimanapun, mengatakan mungkin ada faktor yang berperan lebih besar, yaitu rasa solidaritas yang sering berkembang dalam bencana.
Bencana cenderung menumbuhkan persahabatan, sebagaimana dibuktikan oleh kampanye online seperti #stayathome.
Orang yang ingin bunuh diri menjadi terhibur karena tak hanya mereka sendiri yang mengalami hal itu, katanya.
Tetapi ilusi kebersamaan ini mungkin tidak bertahan lama.
Pada bulan Mei 2011 misalnya, bunuh diri melonjak dua bulan setelah Gempa Bumi Besar Jepang Timur, tsunami, dan krisis nuklir yang menghancurkan wilayah Tohoku.
Shimizu memperingatkan ini bisa terjadi lagi.