Ahli Epidemiologi Yakin Korban Corona di Indonesia Sebenarnya Lebih Tinggi dari Data, Ini Alasannya

Penulis: Abdurrahman Al Farid
Editor: haerahr
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petugas pemakaman membawa peti jenazah pasien suspect virus corona atau Covid-19 di TPU Tegal Alur, Jakarta Barat, Selasa (31/3/2020). Pemprov DKI Jakarta telah menyiapkan dua tempat pemakaman umum (TPU) untuk memakamkan pasien terjangkit virus corona (Covid-19) yang meninggal dunia, yakni di TPU Tegal Alur di Jakarta Barat dan TPU Pondok Ranggon di Jakarta Timur. Jenazah yang dapat dimakamkan di sana, yakni yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) dan berstatus positif terjangkit virus corona.

"Yang kita kembangkan itu pemodelannya adalah kasus yang membutuhkan layanan rumah sakit."

Baca: Di Tengah Darurat Nasional Jepang, 18 Dokter Dilaporkan Terinfeksi Covid-19 Usai Makan Malam Bersama

Ahli Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI), dokter Pandu Riono dalam saluran YouTube Talk Show tvOne, Senin (6/4/2020). (YouTube Talk Show tvOne)

Bahkan, menurutnya sebagian besar pasien virus corona tak memerlukan penanganan khusus.

Yang harus dilakukan yakni mengisolasi pasien tersebut agar tak menularkan virus corona pada orang lain.

"Banyak yang salah mengutip, disangkanya itu kasus yang terinfeksi," jelas Pandu.

"Karena 90 persen orang yang terinfeksi Corona tidak butuh pelayanan, karena sebagian besar tidak bergejala atau gejalanya ringan."

Sehingga itu, menurutnya untuk mendeteksi keberadaan pasien tersebut diperlukan tes cepat untuk mengantisipasi penularan yang lebih luas.

Menurut Pandu, hal itu pula yang menyebabkan wabah virus corona berbeda dengan penyakit lainnya sehingga lebih sulit ditangani.

"Dan ini harus segera kita deteksi dengan sistem tes cepat dengan menggunakan PCR sehingga kita bisa melakukan isolasi," jelas Pandu.

"Ini yang paling berbeda dengan penyakit lainnya karena penularannya dilakukan oleh orang ke orang yang tidak bergejala. Orang-orang yang kelihatan sehat tapi dia membawa virus ke mana-mana," pungkasnya.

Simak videonya berikut ini:

Penjelasan Ahli ITB Terkait Masa Puncak Virus Corona di Indonesia

Melansir Informasi dari Kompas pada Selasa (24/3/2020), Pusat Permodelan Matematika dan Simulasi (P2MS) di Institut Teknologi Bandung (ITB) telah melakukan simulasi dan permodelan sederhana dalam prediksi penyebaran Virus Corona atau Covid-19 di Indonesia.

Melalui penelitian tersebut, Indonesia diprediksi akan mengalami puncak jumlah kasus Virus Corona atau Covid-19 pada akhir Maret hingga pertengahan April 2020.

Pendemi corona ini diperkirakan akan berakhir pada saat kasus harian terbesar berada di angka sekitar 600 persen yang diprediksi pada bulan April tersebut.

“Perlu dicatat, ini hasil pemodelan dengan satu model yang cukup sederhana, tidak mengikutkan faktor-faktor kompleksitasnya tinggi, “ ujar tim peneliti Nuning Nuraini dalam keterangan tertulis, Kamis (19/3/2020).

Nuning menjelaskan bahwa penelitian ini dilatarbelakangi kasus covid-19 di Indonesia yang menjadi bagian pendemi global.

"Dalam penelitian ini, kami berusaha menjawab pertanyaan mendasar tentang epidemi yang sedang terjadi saat ini di Indonesia melalui suatu model matematika sederhana," kata Nuning.

Para staf di Rumah Sakit Palang Merah Wuhan, China, Sabtu (25/1/2020), menggunakan pelindung khusus, untuk menghindari serangan virus corona yang mematikan. (AFP/HECTOR RETAMAL)

Sebuah penelitian yang menjadi jurnal ilmiah ini, tim peneliti membangun model representasi jumlah kasus Covid-19 dengan menggunakan model Richard’s Curve.

Model tersebut terbukti berhasil memprediksi awal, akhir, serta puncak endemi SARS di Hong Kong pada 2003 silam.

Setelah menentukan model penelitian ini, tim akhirnya menguji berbagai data kasus Covid-19 terlapor dari berbagai macam negara.

Seperti China, Iran, Italia, Korea Selatan, dan Amerika Serikat, termasuk data akumulatif seluruh dunia.

Halaman
123


Penulis: Abdurrahman Al Farid
Editor: haerahr
BERITA TERKAIT

Berita Populer