Walaupun seperti itu, KPK pun akan memberikan koridor agar revisi PP tidak mengabaikan aspek tujuan pemidanaan dan keadilan.
Ghufron berpendapat para narapidana kasus korupsi tetap perlu diperhatikan selayaknya manusia dalam hal pencegahan penularan Covid-19.
"Bukan mendukung atau tidak, ini memahami dan respons terhadap penularan virus Covid-19, itu intinya, dengan pertimbangan kemanusiaan bahwa mereka juga manusia yang masih memiliki hak dan harapan hidup," ujar Ghufron menambahi.
Baca: Inilah 42 Bank dan Perusahaan Pendanaan yang Beri Kelonggaran Kredit, Sesuai Kebijakan Jokowi
Secara terpisah, plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menambahkan, wacana revisi PP tersebut harus dikaji secara matang dan jangan sampai memberikan jalan pintas bagi para koruptor untuk menghirup udara bebas.
KPK, kata Ali, tidak pernah dimintai pendapat tentang substansi dari materi yang akan dimasukan dalam perubahan PP tersebut.
"KPK berharap jika dilakukan revisi PP tersebut tidak memberikan kemudahan bagi para napi koruptor, mengingat dampak dan bahaya dari korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat," kata Ali.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM Zaenur Rohman menilai pembebasan napi kasus korupsi tidak akan berpengaruh banyak untuk menekan jumlah penghuni penjara dan mencegah penyebaran Covid-19.
"Untuk tindak pidana korupsi menurut saya jangan dibuat persyaratan yang mudah.
Kenapa? karena dilihat dari data, warga binaan tindak pidana korupsi itu sangat kecil sehingga tidak signifikan sebagai pengurang jika mereka dikeluarkan," ujar Zaenur.
Menurut Zaenur, kebijakan Kemenkumham mengeluarkan sejumlah narapidana dari lembaga pemasyarakat untuk mencegah penyebaran Covid-19 itu memang layak didukung.
Akan tetapi dia juga mengingatkan, narapidana kejahatan sangat serius seperti kasus korupsi, terorisme, dan narkotika seharusnya tidak disamakan dengan narapidana tindak pidana umum.
"Menurut saya yang harus diutamakan untuk tindak pidana yang tidak serius, tidak serius itu contohnya tindak pidana yang tidak ada korbannya seperti perjudian atau juga tindak pidana sejenis, itu harus dijadikan sebagai prioritas untuk dikeluarkan," jelas Zaenur.
Sedangkan pendapat Zaenur, pembebasan narapidana kasus korupsi, terorisme, dan bandar narkoba, harus melalui syarat yang lebih ketat.
Contohnya, hanya diberikan bagi mereka yang mempunyai risiko kesehatan.
"Kalau ada warga binaan tindak pidana korupsi yang mempunyai risiko kesehatan tinggi, atas nama kemanusiaan bisa kemudian untuk digunakan mekanisme pembebasan bersyarat dengan alasan darurat kesehatan seperti ini," ungkap Zaenur.
Baca: Update Pasien Virus Corona 2 April 2020: Total 194.311 Sembuh, 47.256 Meninggal dari 937.567 Kasus
KPK sebelumnya telah menerbitkan kajian terkait layanan di lembaga pemasyarakatan yang menyoroti masalah overkapasitas di lapas.
Salah satu rekomendasi yang disampaikan KPK yaitu memberi remisi bagi para pengguna narkoba mengingat nyaris separuh penghuni lapas dan rutan terkait dengan kasus narkoba.
Sementara, dalam wacana revisi PP Nomor 99 Tahun 2012, Yasonna tidak hanya mengusulkan asimilasi bagi para koruptor melainkan juga napi kasus narkotika, napi asing, dan napi tindak pidana khusus yang dinyatakan sakit kronis.
Yasonna menuturkan, asimilasi bagi napi narkotika akan diberikan bila memenuhi kriteria masa pidana 5-10 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidananya.
Ia memperkirakan ada 15.422 napi narkotika yang memenuhi syarat tersebut untuk diberikan asimilasi.
Selanjutnya, pemberian asimilasi terhadap napi tindak pidana khusus (tipidsus) yang dinyatakan sakit kronis oleh dokter pemerintah dan telah menjalani 2/3 masa pidana berjumlah 1.457 orang.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul, "Wacana Yasonna Bebaskan Koruptor untuk Cegah Covid-19 di Penjara"