Potret Kelam Guru Honorer Indonesia 2019: Dianiaya Wali Murid, Ditikam Murid, hingga Digaji Rendah

Penulis: Dinar Fitra Maghiszha
Editor: Adya Rosyada Yonas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sepanjang tahun 2019, beberapa potret kelam tentang guru honorer menjadi pemberitaan di media. (Gambar Ilustrasi)

Apalagi usianya saat ini sudah melebihi batas ambang persyaratan menjadi PNS.

"Anak saya yang kedua sekarang masih sekolah di pesantren, tiap bulan butuh biaya," kata dia.

Sebelum tinggal di toilet sekolah, Nining tadinya tinggal di sebuah rumah petak di dekat sekolah.

Namun dua tahun lalu, rumah tersebut roboh lantaran sudah lapuk.

Tidak ada pilihan lain, bersama suaminya, Ebi Suhaebi (46), dia mengisi ruangan toilet di SDN Karyabuana 3 yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa.

Tempat tersebut dia jadikan tempat tinggal sejak dua tahun lalu.

Nining mengaku tidak bisa menyewa rumah dengan kondisi keuangan yang minim.

Sementara suaminya hanya berkerja serabutan dengan penghasilan tidak menentu.

Pihak sekolah tadinya sempat melarang, namun akhirnya mengizinkan lantaran tidak ada lagi tempat tinggal untuk Nining dan keluarganya.

"Kepala sekolah bantu beliin kayu, saya dan suami yang bangun, alhamdulillah bisa nyaman tinggal di sini," ujar dia.

3.B. Guru Honorer Jalan Kaki 3 Km ke Sekolah, Gaji Rp. 85.000,-

Dilansir oleh Tribunnews, para guru honorer yang mengabdi di pedalaman Flores yang terisolasi hanya digaji sebanyak Rp85.000 per bulan.

Salah satu guru, Maria Beta Nona Vin mengungkapkan perjuangannya.

"Itu uang Rp 85.000 juga kadang-kadang mandek sampai 3 bulan,” cerita Beti, sapaan akrab guru ini.

“Itu uang kan dari orang tua siswa. Jadi, kita tunggu kapan mereka bayar baru kita terima honor.”

Dirinya menceritakan kalau saat upah tersebut tak terbayar, maka dirinya harus mengandalkan ubi yang ditanamnya sendiri.

Beti memang menanam ubi yang diandalkannya jika tak mampu membeli beras.

Jarak rumah hingga ke sekolahnya pun mencapai 3 kilometer dan Beti menempuhnya dengan berjalan kaki.

Tak hanya itu, dirinya juga harus berjuang terisolasi dari listrik dan telepon.

"Di rumah kami pakai lampu pelita. Kalau malam kerja perangkat pembelajaran, kami andalkan lampu pelita saja. Susah sekali sebenarnya, tetapi karena sudah terbiasa, jadinya nyaman juga. Untuk yang punya hanphone itu harus pergi cas di orang yang ada mesin generator," tutur Beti.

Sinyal pun hanya bisa didapat bila berjalan kaki sejauh 3 kilometer lagi.

Dengan gaji seadanya, Beti tinggal di rumah sederhana dengan alas tikar belahan bambu.

Meski harus hidup dengan segala keterbatasan, Beti mengaku tetap semangat mengajar di sekolah tersebut.

"Capek sebenarnya, tetapi berpikir, pasti ada hikmah di balik perjuangan ini," ungkap Beti.

Ia berharap, ke depan pemerintah bisa menyambung jaringan listrik dan telepon ke Desa Watu Diran, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, alamat SMPN 3 Waigete.

Pantauan Kompas.com, Beti tinggal di rumah yang sangat sederhana, beratapkan alang-alang, dinding belahan bambu, dan lantai tanah.  

Kamar istirahatnya juga sangat sederhana, hanya beralaskan tikar di atas belahan bambu.

Pakaian juga digantung tanpa lemari. Begitu pula dengan buku-buku.  

Alat masak Beti juga masih menggunakan tungku tradisonal dari batu.

Untuk memasak, ia menggunakan kayu api yang didapatkan dari kebun.

Beti juga terkadang menumbuk padi untuk menjadi beras. Di tempat itu memang tidak ada penggiling padi.  

Di tengah keterbatasan uang dan fasilitas, serta tidak adanya saluran informasi, Beti tetap bertahan untuk mengabdi di SMPN 3 Waigete, Desa Watu Diran, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka.

Beberapa berita di atas mengungkap bahwa begitu kelam sejumlah potret guru honorer di Indonesia.

Baca: Mundur dari Kursi Dirut Bank Mandiri, Berapa Gaji Kartika Wirjoatmodjo sebagai Wakil Menteri BUMN?

Baca: Ini Sejarah Hari Guru Nasional di Indonesia yang Jatuh pada Hari Senin Pekan Depan

--

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)



Penulis: Dinar Fitra Maghiszha
Editor: Adya Rosyada Yonas
BERITA TERKAIT

Berita Populer