Terkuak, Inilah Penyebab Ratusan Pendaki Tewas di 'Zona Kematian' Menuju Puncak Everest

Penulis: Abdurrahman Al Farid
Editor: Natalia Bulan Retno Palupi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Puncak Everest

Menurutnya, pendaki Everest akan mengalami kesulitan bernapas begitu sampai di zona kematian.

Tak perlu mengambil contoh puncak Everest, bahkan kita bisa membayangkan jika berada di puncak gunung dengan ketinggian di atas 3 ribu meter, pasti juga akan sulit bernapas karena udara tipis.

Sebuah riset mengatakan, saat berada di ketinggian sekitar 3.657 mdpl, kadar oksigen berkurang 40 persen.

Kalau begitu bagaimana kondisi udara di ketinggian 8.000 mdpl seperti puncak Everest.

Dalam ekspedisi Caudweel Xtreme di Everest tahun 2007, dokter Jeremy Windsor mengambil sampel darah dari empat pendaki yang sedang mengantre di zona kematian.

Dia menemukan, cara bernapas mereka sama seperti orang sekarat.

Adaptasi tubuh

Kekurangan oksigen memicu berbagai masalah kesehatan.

Ketika jumlah oksigen dalam darah anjlok, detak jantuk akan melonjak sampai 140 detak per menit.

Kondisi ini akan meningkatkan risiko serangan jantung.

Pendaki butuh waktu untuk bisa aklimitisasi atau adaptasi dengan kondisi di Everest sebelum mencapai puncaknya.

Setidaknya lakukan tiga kali pendakian gunung yang memiliki ketinggian lebih dari 5 ribu mdpl dalam setahun.

Ketika hal ini dilakukan dan tubuh mulai beradaptasi, secara alami tubuh mulai membuat lebih banyak hemoglobin atau protein dalam sel darah merah yang membantu membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.

Hal ini berguna untuk mengkompensasi perubahan ketinggian.

Puncak Everest (scmp.com/AFP)


Kondisi di zona kematian

Namun perlu diingat, jika tubuh terlalu banyak memproduksi hemoglobin maka akan berisiko mengubah darah jadi kental.

Darah yang kental akan sulit dipompa dari jantung ke seluruh tubuh.

Hal ini memicu munculnya stroke dan paru-paru basah, atau dinamakan High Altitude Pulmonary Edema (HAPE).

Gejala HAPE antara lain kelelahan, sesak napas pada malam hari, dan kerap merasa lemah.

Penderita HAPE juga bisa batuk mengeluarkan cairan putih, berair, atau berbusa.

Jika batuk seperti ini cukup parah, bisa membuat tulang rusuk patah.

Halaman
123


Penulis: Abdurrahman Al Farid
Editor: Natalia Bulan Retno Palupi
BERITA TERKAIT

Berita Populer